Dalam peluncuran Seri Buku Historia yang mengangkat sejarah Soekarno, Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri membagi kisahnya dengan sang ayah. Megawati bercerita, ada satu malam di tahun 1957 yang tidak akan pernah bisa ia lupakan yaitu saat Tragedi Cikini terjadi.
Malam itu, Megawati menjadi panitia peringatan ulang tahun Sekolah Perguruan Cikini. Malam itu pula, usai Megawati dan kakaknya bertugas menjaga pameran, sang ayah hampir meregang nyawa.
"Saya dan kakak saya mendapat tugas (di ulang tahun Sekolah Perguruan Cikini). Saya menjaga pameran, kakak saya menjaga permainan. Ayah saya datang sebagai orang tua, bukan sebagai Presiden," kenang Megawati, di Museum Nasional, Jakarta Pusat, Kamis, (30/11).
Namun, yang namanya Presiden, tetap akan menyita perhatian warga sekitar. Soekarno yang baru keluar dari sekolah, langsung dikerumuni warga yang mungkin penasaran dengan sosok pemimpin negeri itu.
"Kalau kita lihat sekarang Pak Jokowi kalau sudah ada selfie, semuanya ingin selfie. Tapi begitulah, sampai Bung Karno terlihat kewalahan," ujar Megawati.
Namun, tiba-tiba, ada dua orang yang melempar granat ke kerumunan warga. Meski Soekarno selamat, namun puluhan warga yang mengeruminya menjadi korban.
"Yang meninggal, luka parah dan luka-luka, ada beberapa yang cacat seumur hidup," ucap Megawati.
Megawati mengungkapkan, berdasarkan data yang ia terima, dua pelaku pelemparan granat sudah dicuci otak. Mereka memandang Soekarno sebagai sosok yang kurang ramah. Namun, melihat sambutan warga saat Soekarno keluar, membuat keduanya berubah pikiran.
"Ada satu granat, yang kalau tepat (sasaran) waktu itu bisa mengenai ayah saya. Tapi mereka melihat bagaimana Bung Karno terlihat ceria, tertawa dan merangku (warga). Kemudian, detik-detik itu terlewati," ujar Megawati.
Megawati mengungkapkan, banyak peristiwa di masa lalu yang selalu ia ingat hingga hari ini. Termasuk upaya-upaya pembunuhan terhadap Soekarno dan peristiwa 1965 yang berujung pada penjungkalan Soekarno dari kursi presiden.
Menurutnya, tahun 1965 merupakan bagian dari sejarah gelap kehidupan kebangsaan Indonesia. Oleh karena itu, Megawati berharap, pengungkapan sejarah bisa dilakukan secara objektif, jangan sampai terjadi bias politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar