Merdeka.com - Tak jauh dari Kelenteng Hok Tek Bio kota Purwokerto Kabupaten Banyumas, berjilid-jilid cerita silat (cersil) seukuran buku saku ditata berjejer dalam satu rak kayu besar. Di ruang berukuran 3x4 meter itu suasana sepi. Lanny Purwono berusia 67 tahun duduk sendirian, Jum'at (5/1) pukul 15.00 WIB, tak ada satu penyewa buku cersil yang datang ke tempat persewaan buku miliknya.
Tepat berlokasi di area Pasar Wage Purwokerto, sepinya persewan cersil itu berbanding terbalik dengan riungnya pembeli dan para pedagang. Kekeras kepalaan yang dahsyat, nasib kesepian sejak akhir tahun 1990-an, tak membuat Lanny menutup tempat persewaan bukunya. Ia justru jadi saksi yang tegar, menyaksikan toko-toko buku di Purwokerto tempat ia dahulu memesan berjilid-jilid cersil tumbang satu demi satu. Toko buku Aneka dan Ganesa semisal, tinggal kenangan jadi lembar catatan nomor telepon yang tertempel di dinding.
Di tahun 1980-an, cerita silat pernah berjaya digandrungi remaja sampai orang dewasa. Persewaan buku cersil mudah ditemukan dan ramai seperti halnya kedai-kedai kopi yang menjamur saat ini. Tapi selera dan minat banyak orang kini sudah berubah.
"Dalam sebulan sekarang penyewa buku kurang dari 10 orang. Kalau cerita silat sudah jarang yang pinjam. Kebanyakan novel-novel populer," kata Lanny.
Lanny mulai membuka persewaan buku itu, di awal tahun 1980, setelah ia berhenti bekerja sebagai pelayan teknis perpustakaan di salah satu universitas swasta di Salatiga. Ia merupakan sarjana ilmu perpustakaan. Pulang ke kampung halaman, ratusan jilid koleksi buku silat miliknya ia putuskan untuk disewakan.
"Hanya beberapa yang saya simpan untuk koleksi pribadi. Seperti cersil Sia Tiauw Eng Hong. Selain buku silat yang paling saya gemari novel-novel NH dini," tuturnya.
Di persewaan buku tersebut, cerita silat memang paling lengkap dibanding koleksi novel maupun komik. Berjilid-jilid cersil karya Gan KL, Asmaraman S Kho Ping Ho, Kim Loa Kiam juga Bastian Tito ditata berurutan. Beberapa kondisi buku telah kusam dan rusak, kertasnya kecoklatan dan berdebu. Harga sewa satu buku, Rp 1000 untuk sepekan.
Ia mengakui, persewaan bukunya kini tak lagi bisa jadi sandaran pendapatan. Di tokonya itu, ia juga menjual koran bekas yang banyak dimanfaatkan oleh pedagang pasar untuk membungkus dagangan. Tapi ia terlanjur cinta dengan cerita silat dan tak tega menelantarkannya teronggok dalam gudang.
"Gimana lagi saya suka cerita silat. Beberapa memang sudah hilang tak dikembalikan penyewa nakal. Saya ikhlaskan. Itung-itung beramal buku," ujarnya, lalu tercenung.
Mengingat dirinya sudah lanjut usia, ia tak tahu bagaimana nantinya nasib buku-buku cersil koleksinya. Ia juga tak memiliki anak yang bakal ia warisi buku-buku miliknya. Sebagaimana buku-buku cersilnya yang kesepian menunggu pembaca, Lanny juga telah terbiasa dengan situasi sepi. Kesepian itu telah jadi bagian sehari-hari selama 20 tahun terakhir. [rzk]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar