Rabu, 21 Februari 2018

Kisah Moko, Pemuda yang Gigih Lestarikan Kesenian Lokal

SOLO, KOMPAS.com - Lelaki itu lihai merias wajahnya menjadi semirip mungkin dengan lakon yang akan dimainkannya. Dalam sekejap, sosoknya langsung berubah drastis menjadi sosok yang bukan dia.

Yah, inilah yang dilakukan pemuda bernama Nur Diatmoko setiap hari. Tidak seperti kebanyakan rekan sebayanya, pemuda berusia 21 tahun ini justru lebih memilih menggeluti dunia seni tradisional.

Pilihan itu seperti menapaki jalan terjal dan berbatu, karena bukan hal yang mudah untuk memainkan wayang orang, selain bayarannya pun tak banyak.

Bayangkan saja, setiap pemain harus bisa merias wajahnya serupa dengan tokoh yang akan dimainnnya. Selain itu, mereka juga harus memiliki kemampuan menari, nembang dan antawacana atau kemampuan menirukan dialog tokoh wayang.

Tidak semua orang mampu dan mau menggeluti profesi ini. Apalagi di zaman modern, dimana semua serba instan, kemampuan tersebut hampir tidak diajarkan lagi di sekolah-sekolah biasa, dan barangkali bukan pilihan yang populer.

Namun kehadiran budaya modern yang mendesak seni tradisonal tak membuat pemuda alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta ini takut untuk melestarikan budaya lokal.

Usai menamatkan pendidikannya, pemuda asli Wonogiri ini justru memilih bergabung dengan pementasan wayang orang Sriwedari.

Baca :Bermula dari era Mangkunegaran VI, Begini Kisah Wayang Orang Sriwedari

Pemain termuda dalam pementasan wayang orang Sriwedari ini mengaku bangga bisa terlibat dalam pertunjukan kesenian tradisonal tersebut.

Menurutnya, wayang merupakan salah satu warisan budaya yang memang sudah sewajarnya untuk dilestarikan.

Bagi lelaki berkulit sawo matang ini, kisah pewayangan mengandung berjuta ilmu kehidupan yang sangat berguna. Selain bisa menjadi tontonan, kisah pewayangan juga mampu dijadikan tuntunan dalam hidup.

Dan dengan bergabung dalam tim wayang orang ini, ia ingin terus belajar tentang berbagai falsafah kehidupan.

"Saya merasa belum bisa sehingga rasa ingin tahu dan keinginan untuk terus belajar mendorong hati saya untuk bergabung dengan wayang orang Sriwedari," ucapnya.

Di temui di sela-sela persiapannya untuk mementaskan wayang orang, Moko, sapaan akrabnya, mengaku bahwa menjadi seniman adalah impiannya.

"Cita-cita saya ingin jadi seniman yang berguna. Yah, meskipun gaji jadi pemain wayang orang tidak besar, setidaknya cukup untuk kebutuhan hidup saya saat ini," ucapnya.

Sebagai generasi penerus, Moko merasa terketuk hatinya untuk melestarikan budaya warisan nenek moyang agar tak lenyap dimakan zaman.

Meski saat ini kehadiran wayang orang Sriwedari kembali dilirik oleh penonton muda, bukan berarti Moko tak sempat mengalami masa 'suram' saat bergabung dengan pertunjukan wayang orang ini.

Baca :Pentas Wayang Orang Sriwedari, Pernah Hanya "Ditonton Kursi"

"Pernah juga sepi penonton saat tampil. Rasanya kurang semangat saat manggung. Beda kalo penonton lagi ramai, kita merasa lebih semangat dan bergairah waktu tampil," kata pemuda alumni jurusan Seni Tari ISI Surakarta ini.

Sebagai upaya pemerinta untuk melestarikan seni lokal, pemerintah setempat meminta bahwa para pemain wayang orang harus tetap menjalankan tugasnya "manggung" meski tak seorang pun duduk di kursi penonton.

Para pemain wayang juga harus melakukan pementasan setiap hari Senin hingga Sabtu. Oleh karena itulah, mereka tak memiliki jadwal latihan. Semua penampilan di atas pentas dilakukan secara spontan dan hanya berdasarkan arahan sang sutradara.


Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search