Akhir-akhir ini, media di Australia gencar melaporkan permasalahan tim Brisbane Roar, klub sepak bola di Australia yang dimiliki oleh kelompok usaha Bakrie dari Indonesia.
Pada akhir Januari tahun ini, Roar dikalahkan oleh juara Filipina, Ceres Negro, dalam pertandingan Asian Football Confederation. Sangat sedikit penonton yang datang pada pertandingan tersebut. Direktur operasi klub sepak bola tersebut, bekas pemain Queens Park Rangers di Liga Inggris, dipecat setelah ada kejadian dengan seragam tim.
Di tengah-tengah pertandingan, nomor baju para pemain terkelupas dari baju-baju seragam mereka. Salah satu media di Inggris menyebut kejadian tersebut "bizzare kit row" atau masalah seragam yang aneh.
Dua tahun sebelumnya, kondisi keuangan klub sepak bola ini bermasalah, gaji para pemain tidak dibayar tepat waktu.
Koran Courier Mail melaporkan bahwa kelompok Bakrie "berkukuh" tidak menjual klub sepak bola Roar, karena tawaran yang datang dianggap terlalu rendah.
Saya menulis ini dari Jakarta. Berita mengenai "masalah seragam pemain" seharusnya menarik ditampilkan di pers lokal, terutama mengingat pemilik Roar adalah perusahaan Indonesia—tapi belum ada laporan tentang hal itu.
Untuk memahami mengapa, kita harus lihat posisi Brisbane Roar di antara aset lain konglomerat Bakrie dan posisi Bakrie Group sendiri dalam dunia bisnis dan media di Indonesia.
Konsentrasi kepentingan elite
Beberapa konglomerat, termasuk kelompok Bakrie, menguasai industri media Indonesia yang berkembang pesat dalam dua puluh tahun sejak jatuhnya rezim Orde Baru.
Read more: Oligarki media dan bagaimana dia menentukan arah pemberitaan
Konglomerat-konglomerat tersebut memanfaatkan 10 stasiun TV nasional dan lebih dari seribu media cetak dan daring di Indonesia untuk meningkatkan pengaruhnya. Isi media massa sering dipengaruhi arah politik pemiliknya.
Ini mirip dengan situasi di Italia. Mantan Perdana Menteri Italia Silvio Berlusconi juga pengusaha media. Ia juga punya saham di Klub AC Milan hingga 2017, di samping punya aset real estate dan bangunannya.
Secara kebetulan, saat ini pengusaha media Indonesia Eric Thohir adalah ketua dan dan pemegang saham minoritas tim lawan AC Milan, Inter Milan. Mahaka Group-nya Eric Thohir memiliki stasiun radio komersial yang popular, Gen FM, serta harian cetak dan digital Islam yang cukup besar, yaitu Republika.
Seperti Erick Thohir dan Surya Paloh, pemilik Metro TV yang aktif berpolitik, Bakrie telah mencampuradukkan kepemilikan media (termasuk stasiun TV yang populer), bisnis, dan pengaruh politik.
Sepertinya, memiliki (sebagian atau sepenuhnya) klub sepak bola adalah pekerjaan sampingan bagi mereka.
Bisnis yang bertahan
Kegiatan utama Bakrie Grup adalah konstruksi dan pertambangan. Kelompok ini terkait bencana lingkungan terburuk di Indonesia pada 2006, ketika lumpur mulai mengalir di Sidoarjo, Jawa Timur, menenggelamkan pedesaan dan memaksa 40.000 orang pindah. Satu dekade kemudian, lumpur masih mengalir meski dengan kecepatan yang jauh berkurang.
Para peneliti masih berdebat mengenai penyebab mengalirnya lumpur ini. Satu kelompok peneliti berargumen bencana lumpur disebabkan eksplorasi tambang oleh perusahaan yang sebagian dimiliki Bakrie. Kelompok lain percaya bencana lumpur disebabkan gempa bumi beberapa hari sebelumnya.
Sebelum Aburizal Bakrie menjadi bakal calon presiden lewat Partai Golkar pada pemilu 2014, perusahaannya mulai membayar kompensasi kepada korban lumpur Sidoarjo, walau menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia kompensasinya tersebut tidak cukup.
Kegagalan Aburizal dalam pemilihan presiden 2014 salah satu masa buruk bagi keluarga Bakrie yang lama terlibat dalam politik Indonesia. Keluarga tersebut memiliki hubungan dekat dengan Golkar, partai yang dibesarkan oleh mantan Presiden Soeharto. Aburizal sempat menjadi Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat pada 2004-2009.
Majalah bisnis asing sering menggambarkan Bakrie Grup sebagai "survivor". Perusahan Bakrie "selalu bangkit kembali" dari masalah keuangannya, menurut Financial Times; Abu Rizal Bakrie adalah "Teflon tycoon" kata the Economist.
Tren ke depan
Singkatnya, saat ini konglomerat di Indonesia lebih fokus pada perusahaan media dan digital. Dalam presentasi di depan peserta praktikum jurnalistik Australian Consortium of In-Country Indonesian Studies (ACICIS) yang saya selenggarakan di sini pada 2018, pembicara seperti mantan Pemimpin Redaksi The Jakarta Post Endy Bayuni dan Pemimpin Redaksi Tempo.co Wahyu Dhyatmika mengatakan ada tren di antara konglomerat untuk fokus pada industri media dan situs digital.
Pemilik Brisbane Roar berada dalam keadaan finansial yang tidak stabil, dan ingin melepaskan aset seperti klub yang selama ini kacau urusannya.
Ketika Bakrie menjadi pemilik tim sepak bola Australia asing pertama, rekan saya dan saya di kantor berita ABC bertanya kepada A-League apakah mereka telah memeriksa latar belakang Bakrie Grup. Sepengetahuan saya, kami adalah satu-satunya wartawan di Australia yang melakukannya.
Mungkin jurnalis olahraga dan Liga Australia ini seharusnya mengajukan lebih banyak pertanyaan saat konglomerat Indonesia yang kontroversial membeli Brisbane Roar. Seragam pemain sepak bola merupakan masalah yang paling remeh di antara masalah lain yang dihadapi kelompok Bakrie.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar