KATHMANDU, KOMPAS.com - Mereka yang berkunjung ke Kathmandu, Nepal, tentu pernah mendengar Thamel, salah satu tempat belanja suvenir yang mirip pasar seni di sekitar Kuta atau Legian.
Di Thamel, orang bisa menemukan berbagai barang kerajinan, seperti syal cashmere atau pashmina, syal dari bulu yak, jaket model Nepal, tas, dompet, berbagai perhiasan gelang dan kalung, patung dewa- dewa, hingga khukuri, senjata tradisional setempat.
Thamel juga menjadi tempat turis kongkow-kongkow menikmati kopi dan makanan, atau sekedar melihat-lihat.
Maka saat kami, beberapa wartawan dan influencer berkunjung ke Kathmandu bersama The Body Shop, Thamel menjadi salah satu tujuan yang tidak kami lewatkan.
Kami sebenarnya dijadwalkan ke Thamel pada hari Rabu (7/3/2018) selepas acara utama. Namun sore itu waktunya hanya sebentar. Kami sudah diminta berkumpul di titik penjemputan bus 30 menit setelah turun. Padahal kawasan Thamel cukup luas untuk dijelajahi.
Baru menghirup debu di sana, rasanya waktu berkumpul sudah dekat, seperti dihitung menggunakan stopwatch. Belum sempat milih barang, belum membandingkan harga, dan belum pula menawarnya.
Oh ya, menurut pemandu kami, pria setengah baya bernama Roshand, kami bisa menawar harga barang-barang di Kathmandu.
"Coba bandingkan harga di beberapa toko. Setelah mengetahui kira-kira harganya, pilih yang paling murah," ujar Roshand di dalam bus.
Akhirnya kami, kelompok dari Indonesia bertekad datang kembali ke sana esok harinya, yang juga adalah hari terakhir di Kathmandu karena malamnya kami harus ke bandara untuk pulang ke tanah air.
Esoknya, Kamis, setelah mengunjungi tempat lain, kami --saya satu-satunya pria bersama lima perempuan-- bergerak ke Thamel sekitar pukul 15.00. Waktunya cukup panjang karena kami dijadwalkan kembali ke hotel mengambil bagasi pukul 19.00.
Kami berpencar untuk mencari barang yang ingin dibeli masing-masing, sekaligus untuk bertukar informasi toko mana saja yang menawarkan barang dan harga terbaik.
Selang satu jam, kami bertemu sambil meneruskan mencari dan membandingkan barang. Salah seorang dari kami bercerita membeli syal cashmere dengan harga 3.000 rupee atau sekitar Rp 390 ribu.
"Bagus tuh, syal-nya keren. Nanti kalau nemu lagi aku beli ah," kata beberapa rekan.
Lalu sambil berjalan, kami melihat toko yang menjual syal serupa. Masuklah kami dan menanyakan harganya. Kami ingat kata-kata Roshand, bahwa bisa menawar hingga separuh harga.
Toko itu dijaga sepasang suami istri bersama anaknya yang masih kecil. Sambil memilih syal dan mematut-matut, kami berulangkali minta tambahan diskon karena beli cukup banyak. Namun, penjual itu mengatakan sudah memberi harga terbaik.
Ya sudahlah, toh barangnya bagus dan harganya jauh di bawah toko di bagian depan Thamel. Apalagi penjual itu wajahnya polos, ditambah muka anaknya yang lucu, membuat kami menghabiskan banyak waktu (dan uang) di toko tersebut.
Lepas dari toko itu, beberapa teman masih mencari pernak-pernik dan barang-barang lain seperti teh Nepal, magnet kulkas bergambar Nepal, juga sandal-sandal rajutan yang cantik. Saya hanya ikut saja, kehabisan uang.
Sebenarnya beberapa dari kami juga sudah merasa cukup belanja, saat salah seorang kemudian masuk sebuah toko dan menjajal sendal. Kami yang lain ikut-ikutan saja masuk. Ternyata di bagian dalam toko banyak dipajang berbagai syal dan kain khas Nepal.
Iseng kami bertanya berapa harga syal serupa yang kami beli di toko sebelumnya. Pemilik toko, pria bernama Santosh yang berwajah mirip bintang film India mengatakan, "Ini barang bagus. Untuk Indonesia saya kasih 1.000 rupee saja."
Hah seribu rupee? Kami melongo karena harga itu belum ditawar. Maka segera kami tanya harga pas-nya. Tawar menawar pun terjadi dan dia berkata setengah berbisik. "OK untuk kalian 600 rupee tapi jangan bilang ke pembeli lainnya."
Kami rasanya lemas tapi sekaligus ingin mentertawakan kekonyolan sebelumnya. Saat uang menipis, malah ketemu toko yang paling murah.
"Jangan-jangan semakin ke ujung, harganya makin murah," seloroh saya ke Santosh.
Dia menjawab menggeleng-geleng sambil tersenyum, "Tidak, tidak. Di sini yang paling murah. Kamu bisa membandingkannya. Mereka semua mengambil dari saya."
Santosh pun dengan lihai mengeluarkan berbagai koleksinya, walau kita hanya menanyakan satu barang. "Yang ini berbeda, lebih halus, harganya lebih mahal sedikit. Yang ini kualitas premium, harganya beda lagi," ujarnya mengeluarkan banyak syal.
Melihat kami terpaku, dia melanjutkan, "Kalau ini the best, kamu tidak akan mendapat di toko lain," ujarnya.
Kelihaian Santosh menawarkan barang dan bercerita membuat kami pun tak segan bergurau dengannya, sampai-sampai kami memanggilnya "Masbro". Niat belanja pun muncul lagi, dan kali ini yang dirogoh adalah kartu kredit.
Sayang menurut Masbro Santosh, alat pembayaran kartunya rusak.
"Tapi masbro, kamu bilang toko ini pemasok, kanapa kami nggak bisa bayar pakai kartu? Sementara di toko lain kami bisa gesek. Kurang meyakinkan nih," gurau kami.
"Saya tadinya punya, tapi sedang rusak, sekarang diservis," ujarnya beralasan.
Namun, Santosh bisa mengusahakannya dengan membayar di toko temannya bila kami benar-benar kehabisan uang tunai. Akhirnya sisa-sisa rupee pun berpindah ke tangan Santosh. Setengah geli kami berkata, kenapa nggak dari tadi ketemu toko ini ya?
"Tapi sudahlah, di toko sebelumnya anggap saja kita membantu untuk makan anaknya yang kecil itu," ujar salah satu dari kami menghibur diri.
Selesai? Belum. Ternyata waktu sudah hampir menunjukkan pukul 19.00 dan kami harus bergegas ke hotel untuk memasukkan barang-barang belanjaan tadi ke bagasi dan berangkat ke bandara.
Saat memasukkan barang belanjaan tersebut, ada rekan yang tidak menemukan salah satu tas belanjaannya. Di cari ke sana kemari tidak ketemu.
"Mungkin tertinggal di tokonya Masbro," ujarnya.
"Coba telpon, tadi ada kartu namanya," kata saya.
Maka ia menelpon dan benar tas itu ada di sana. Segeralah kami menyelesaikan packing lebih cepat agar bisa kembali mengambil tas di Thamel, sekalian menuju ke bandara.
Tadinya disepakati ada dua orang saja turun dari mobil, yang lain menunggu. Selain biar cepat, parkiran di sekitar Thamel jaraknya jauh. Bila parkir di dekat jalan utama, kami harus menghidupkan mesin agar jika sewaktu-waktu petugas datang, mobil bisa segera menyingkir.
Namun sesampai di sana, beberapa orang berubah pikiran. Rasanya harga-harga di toko Santosh terlalu menggiurkan untuk dilewatkan. Maka kembalilah sebagian dari kami berbondong-bondong ke sana untuk belanja lagi.
Ketika akhirnya selesai, semua tiba di mobil dengan senyum mengembang. Sepanjang perjalanan pulang, kami masih mengulang cerita soal Masbro dan kekonyolan kami belanja di Thamel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar