SOLO, KOMPAS.com - Sigit Pamungkas tak menyangka Kafe Bukuku Lawas miliknya diminati banyak konsumen. Sebab, pria jebolan pascasarjana ISI Yogyakarta itu awalnya hanya ingin membuat perpustakaan kampung agar buku-buku koleksinya bermanfaat untuk orang lain.
"Awalnya saya ingin membuat perpustakaan saja di kampung. Namun, saya hanya memiliki buku-buku dan tidak ada tempatnya," kata Sigit saat ditemui, Senin (2/4/2018).
Setelah berdiskusi dengan beberapa temannya, Sigit ingin membuat wedangan atau angkringan yang berkonsep ada buku. Namun, konsep itu dirasa kurang tepat karena buku yang dipajang nanti rawan kotor dan rusak.
Untuk menjaga buku koleksinya tetap awet, akhirnya tercetus konsep kafe yang menyajikan menu kopi dan berbagai snack.
"Saya penginnya buku-buku itu tetap bisa menemani saya bekerja. Paling tidak pengunjung yang pertama kali bisa berswafoto, kemudian pegang-pegang, syukur lalu akan membacanya. Dengan begitu, saya juga bisa beramal, meski dengan buku," ucapnya.
Baca juga: Bangkit Setelah PHK, Ardhy Sulap Mobil Tahun 90-an Jadi Kafe Keliling
Sigit bercerita, perkenalannya dengan buku juga bisa dibilang tidak sengaja. Hanya berbekal dari kebiasaan ayahnya yang seorang pedagang barang antik yang menyukai buku-buku dengan aksara Jawa. Kecintaan itu yang barangkali membuatnya menyukai sesuatu yang beraroma lawas.
Tak hanya itu, saat mengunjungi pameran yang berada di Kota Bandung, Sigit melihat setiap peserta masuk ke lokasi pameran mendapatkan majalah gratis. Dengan keisengannya untuk mendapatkan majalah-majalah itu, ia rela keluar masuk pameran hingga berkali-kali.
Pameran yang berlangsung selama tiga hari itu menjadi petualangannya demi mendapatkan banyak majalah. Sampai mendapatkan majalah yang ke-17, ia mulai dikenali oleh panitia, hingga ia dilarang lagi mendapatkannya.
"Majalahnya masih ada yang saya simpan," ungkap Sigit.
Setelah peristiwa itu, keinginannya menambah banyak buku semakin kuat. Bahkan ketika ada banyak penjual buku di tempatnya kuliah, ia selalu ingin membelinya. Namun, kendala keuangan yang terbatas membuatnya harus berpikir ulang untuk membelinya.
Kecanduan ingin mengoleksi buku, Sigit mulai berpikir cara mendapatkan sesuatu dari buku agar bisa membeli buku lagi. Mulailah ia berjualan buku secara online sejak tahun 2013.
Tak disangka, ternyata gairah membeli buku ternyata cukup tinggi. Mulailah ia berburu buku di pasar loak buku-buku bekas. Hasilnya, buku-buku lawas yang ditawarkan secara online cepat laku, apalagi cover dan judulnya menarik.
Bahkan Sigit pernah membeli buku lawas dengan harga hanya Rp 10.000 terjual Rp 2,5 juta dan buku lawas seharga Rp 200.000 terjual Rp 1 juta.
"Keuntungan jualan buku lawas tidak tentu. Bisa tinggi, bisa biasa saja. Namun, saya punya feeling terhadap buku-buku itu mana yang cepat laku dan tidak," ucap Sigit.
Pembeli buku-bukunya pun tak hanya dari berbagai daerah, bahkan dari berbagai negara, seperti Malaysia, Singapura, Australia, dan Korea selatan. Rata-rata buku-buku dengan ejaan lama yang diminati untuk kepentingan penelitian.
Ia menambahkan, para pembelinya kebanyakan untuk koleksi perpustakaan pribadi, kebutuhan studi, atau koleksi terhadap buku-buku lawas yang sudah langka.
Sigit menuturkan, berdagang buku tidak pernah terbayang dalam hidupnya. Bahkan kedua orangtuanya pernah mencibirnya lantaran menganggap berjualan buku tak cukup menghasilkan uang.
"Ayahku dulu meremehkan, jualan buku itu untungnya berapa," tutur Sigit.
Tak hanya itu, setelah lulus mengenyam pendidikan pascasarjana, Sigit mendapatkan tawaran pekerjaan menjadi dosen. Lagi-lagi pria yang masih jomblo ini menolaknya.
"Bagi saya, lulusan S-2 itu tidak harus jadi dosen," kata Sigit.
Baca juga: Kreasi Unik Perajin di Cirebon, Labu Botol Diubah Jadi Hiasan Rumah Tangga
Namun, geliat hidup Sigit dengan buku-buku tak pernah surut. Bahkan, hasil dari jualan buku itu bisa membantu membiayainya menyelesaikan kuliah.
Sukses berjualan buku, Sigit bertemu temannya. Ia berdiskusi bagaimana buku koleksinya bisa bermanfaat secara sosial dan ekonomi. Akhirnya tercetus konsep membuat kafe baca.
"Modal untuk membuka kafe baca saya 80 persen keuntungan dari saya berjualan buku. Setelah hampir dua bulan buka, omzet kotornya sebulan bisa mencapai belasan juta rupiah," ungkap Sigit.
Proses membangun kafe tak mulus begitu saja. Butuh lebih dari satu tahun hingga bangunan selesai. Menempati tanah petak milik kakaknya, bangunan dengan desain artistik berdiri.
Ia sengaja memilih bangunan yang semi-terbuka sehingga mengesankan keterbukaan dan ruang yang santai untuk bercengkerama.
Kafe yang belum genap dua bulan ini menjadi salah satu kafe favorit. Lokasinya yang tak jauh dari kampus STSI, yakni di Jalan Guruh, Ngasinan, Kecamatan Jebres, Kota Solo, menjadi titik nongkrong favorit. Kafenya buka mulai pukul 17.00 hingga 24.00.
Kafe ini menjadi salah satu tempat bagi para mahasiswa yang mencari buku-buku untuk menyelesaikan tugas atau bagi mereka yang ingin ngopi sambil membaca buku. Makanan dan minuman yang disediakan banyak variannya.
"Ada 60-an varian makanan yang tersedia, dan setiap malam yang datang ke sini bisa mencapai 50 orang. Bahkan ada yang terpaksa pulang karena kapasitas kafe kami hanya bisa menampung 50 orang," ucap Sigit.
Untuk koleksi bukunya, Sigit menambahkan, dari 10.000-an koleksinya, terdapat dua jenis buku yang ada di Kafe Bukuku Lawas ini.
Ada buku khusus untuk dibaca di tempat dan buku yang dijual. Harganya pun cukup murah, mulai dari Rp 5.000 hingga puluhan ribu, tergantung jenis bukunya.
Baca juga: Perajin Rotan Asal Aceh, Aminah Beromzet hingga Rp 30 Juta Per Bulan
Untuk jenis buku-buku tertentu, yakni favorit dan langka yang berkisar ratusan, hanya bisa dilihat di display kaca. Hanya pengunjung yang memerlukan untuk tujuan penelitian yang diperbolehkan. Itu pun hanya dengan memfotonya.
"Ada koleksi buku saya terbitan tahun 1800-an. Buku itu ada dengan aksara Jawa, Latin, itu sengaja saya taruh dalam kotak kaca agar awet," jelas Sigit.
Sigit mengatakan, dari ratusan buku kuno koleksinya, paling banyak diminati buku tentang keris.
"Buku keris paling banyak dibaca di sini," tutur Sigit.
Sigit berharap kehadiran Kafe Bukuku Lawas ini bisa menggairahkan kembali minat baca di tengah masyarakat.
Labu botol di Cirebon bisa dibuah jadi lampu hias, teko, dan akuarium yang artistik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar