Jumat, 06 April 2018

Kisah Pengungsi yang Telantar dan Hidup di Trotoar Jakarta

Liputan6.com, Jakarta - Lebih baik mengungsi daripada mati dan merana di negeri sendiri. Itu yang dirasakan Mohammad Farrah Abdi (22). Ia memilih melarikan diri dari kampung halamannya di Mogadishu, Somalia, pada 2015. 

Kala itu, pemuda tersebut baru lulus dari SMA. Bayang-bayang kematian yang membuatnya pergi. 

"Saya dan para pemuda lain di Mogadishu takut. Kami terintimidasi oleh kelompok teroris Al Shabaab yang memaksa para pemuda seperti saya untuk bergabung dengan mereka," kata Abdi saat ditemui Liputan6.com di pinggir jalan di Kalideres, Jakarta, Rabu 5 April 2018.

"Ibu saya akhirnya menganjurkan saya untuk pergi keluar dari Somalia. 'Negara ini sedang tak aman dan damai bagi pemuda seperti kamu', kata ibu saya," ujar Abdi.

Abdi yang masih berusia 18 tahun kala itu mengungsi sendirian, tanpa keluarga. Ia hanya membawa uang secukupnya untuk tiket transportasi dan biaya hidup. 

"Dari Mogadishu, saya terbang ke Dubai, kemudian ke Malaysia, dan tiba di Medan, Indonesia. Dari Medan saya langsung ke Jakarta," kata Abdi.

Di Jakarta, Abdi sempat tinggal di Jakarta Pusat menyewa sebuah kamar kos. Kemudian, ia sempat pindah ke Ciputat tinggal beramai-ramai bersama sekelompok pengungsi lain dengan menyewa rumah petak.

Kemah-kemah pengungsi dari Afrika dan Asia Selatan di trotoar depan Rumah Detensi Imigrasi Kalideres, Jakarta Barat (4/4/2018) (Muhammad Husni Mubarok/Liputan6.com)

"Saya tinggal selama 2,5 tahun di Jakarta Pusat dan Ciputat. Karena uang saya sudah habis, akhirnya saya pindah ke Kalideres. Saya baru tiba di Kalideres sekitar empat atau tiga hari lalu (awal April 2018)," tambahnya.

Kini, tenda kecil yang berjejer bersama puluhan tenda lain di pinggir jalan yang terletak tepat di depan Rumah Detensi Imigrasi Kalideres Jakarta menjadi lokasi tempat tinggal Abdi beserta sekitar ratusan pengungsi seperti dirinya.

Mereka merupakan pengungsi Afghanistan, Somalia, dan segelintir dari Ethiopia, Sudan Selatan, Eritrea, negara Afrika lain, Pakistan, Myanmar, dan negara Asia lain.

Lari dari Teroris

Selain Abdi, ada pula Mahmoud Mohammad Ahmad (32) yang juga berasal dari Mogadishu dan kini harus tinggal di pinggir Jalan Kalideres.

Ahmad meninggalkan kampung halamannya itu bersama istri untuk mengungsi ke Indonesia pada 2014.

"Al Shabaab, mereka menebar teror kepada masyarakat sipil seperti kami. Pertempuran mereka dengan pasukan pemerintah pun memperparah keadaan," kata Ahmad mengemukakan alasannya mengungsi keluar dari Mogadishu menuju Jakarta.

Pemuda itu tengah menempuh studi teknik di sebuah universitas di sana kala mengungsi. Namun, semua itu harus ia tinggalkan.

"Saya terpaksa meninggalkan keluarga dan berhenti dari pendidikan yang tengah saya tempuh. Saya hanya mengajak istri dan membawa uang secukupnya untuk pergi keluar dari Somalia," lanjutnya.

Ahmad dan istri mengambil rute penerbangan Mogadishu, Pakistan, Malaysia, kemudian ke Medan, Indonesia. Dari Medan, mereka kemudian pindah ke Jakarta.

"Sempat di Bogor untuk beberapa saat. Kemudian saya pindah ke Pasar Baru. Di kedua tempat itu saya menyewa sebuah indekos kecil. Tapi setelah hampir tiga tahun, uang saya habis. Akhirnya saya pindah ke Kalideres," kata Ahmad.

Kemah-kemah pengungsi dari Afrika dan Asia Selatan di trotoar depan Rumah Detensi Imigrasi Kalideres, Jakarta Barat (4/4/2018) (Muhammad Husni Mubarok/Liputan6.com)

"Saya tiba di Kalideres tiga bulan lalu. Uang saya habis. Hanya cukup untuk membeli terpal dan tenda saja untuk tidur di pinggir jalan," ujar pemuda Somalia itu.

Meningkatnya intensitas aktivitas kelompok teroris bernama Al Shabaab -- berarti 'Pemuda' -- yang berafiliasi dengan Al Qaeda pada 2012 - 2014 di sejumlah kota-kota besar di Somalia menjadi penyebab utama Abdi dan Ahmad beserta sekitar ratusan hingga ribuan orang mengungsi keluar dari negara mereka.

Kondisi kala itu diperparah dengan maraknya serangan bom di tempat publik serta pertempuran berdarah antara Al Shabaab dengan pasukan pemerintah di kota-kota besar Somalia, termasuk di ibu kota Mogadishu.

Intensitas pertempuran memicu pasukan Barat melakukan intervensi untuk memberantas Al Shabaab di Mogadishu dan beberapa kota besar di Somalia pada awal 2014. Namun, intervensi itu hanya berlangsung singkat, karena pada pengujung tahun yang sama, Amerika Serikat mengklaim telah berhasil menumpas Al Shabaab.

Kendati demikian, Al Shabaab tak benar-benar tamat. Kelompok teroris yang berhaluan ekstremis-radikal-konservatif itu masih melakukan aktivitas bersenjata secara sporadis di desa-desa terpencil di Somalia, demikian seperti dilansir The Guardian 21 Februari 2018.

Keterbatasan ekonomi membuat Al Shabaab memeras harta penduduk lokal dan memaksa warga sekitar untuk bergabung menjadi anggota. Teror yang mereka tebar masih membuat resah sejumlah besar masyarakat Somalia sampai saat ini.

Namun parahnya, negara Amerika Serikat Cs kini berpaling dari sana, karena menilai aktivitas Al Shabaab tak akan memberikan ancaman berarti bagi dunia Barat.

Di sisi lain, para pengungsi yang telah keluar dari Somalia mengaku tak ingin kembali ke negara kelahirannya. Masalah keamanan dan perdamaian jadi alasan utama, setidaknya menurut Abdi dan Ahmad.

"Ke mana pun pemerintah Anda atau UNHCR mengirim kami ke negara lain, akan kami turuti. Tapi saat ini, Somalia adalah pilihan terakhir untuk kami. Anda tahu, kami merasa masih tak aman bagi kami untuk kembali ke Mogadishu. Tak ada perdamaian dan pemerintahan yang stabil di sana," kata Ahmad.

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search