KALIMANTAN Barat menjadi provinsi terluas keempat di Indonesia, setelah Papua, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah. Provinsi dengan luas 146.807 kilometer persegi ini dijuluki daerah "Seribu Sungai".
Julukan tersebut disandang Kalbar lantaran secara geografis selaras dengan ratusan sungainya yang besar dan kecil mengelilingi tanah daratan. Sehingga, tidak heran jika sungai-sungai besar yang mengitari menjadi urat nadi perekonomian masyarakat setempat.
Pesatnya pembangunan infrastruktur dalam tujuh tahun terakhir membuat roda kehidupan masyarakat tumbuh. Sayangnya, belum semua masyarakat merasakan, khususnya di pedalaman, seperti di Kecamatan Belitang Hilir hingga Belitang Hulu di Kabupaten Sekadau.
Sebagai kabupaten yang terbilang kota kecil, Sekadau adalah jantungnya Indonesia yang dilalui jalur kota dan pedalaman. Salah satu desanya bernama Belitang yang berbatasan langsung dengan Senaning, Kabupaten Sintang; dan Serawak, Malaysia Timur.
(Salah satu puskesmas di salah satu desa di Sekadau yang masih jauh dari layak, Kalbar. Foto: Amril)
Agar bisa menuju desa tersebut, harus melewati berbagai tantangan, mulai penyeberangan Sungai Kapuas menggunakan kapal tradisional 'Ponton', melewati hamparan perkebunan sawit dan juga karet, ditambah suasana perbukitan yang asri dan rindang, bila musim kemarau cuaca panas begitu terasa menyengat.
Hal lain yang tak lepas dari pandangan yakni masih ditemukannya sisa-sisa penambangan emas. Daerah berbukit dengan kontur tanah merah ini menjadi kesan tersendiri.
Okezone pun berkesempatan berkunjung langsung wilayah tersebut dan merasakan jalan yang berlumpur, rusak, serta sulit dilewati. Akses jalan yang tidak biasa untuk warga ibu kota tentunya, dan menghabiskan waktu dua jam perjalanan guna melewati jalan rusak tersebut menggunakan kendaraan roda empat.
(Kondisi jalan berlubang dan sangat menyulitkan kendaraan roda empat melintas. Foto: Kowel/Okezone)
Lamanya waktu perjalanan bukan hanya karena jauhnya jarak antardua kecamatan tersebut, tetapi juga dipengaruhi kondisi jalanan rusak yang tak jarang dipenuhi lumpur hingga membuat pengendara mobil terkadang kesulitan melewatinya. Bila kemarau tiba, debu-debu tanah yang beterbangan seiring gilasan roda mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi.
Begitulah jalanan yang harus dilewati oleh warga sekitar jika ingin keluar dari perkampungan mereka, sekadar untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari atau membeli bahan makanan untuk keperluan warung kecil mereka.
Akibat sulitnya medan, Tim Okezone sampai harus merasakan kendaraan yang dilewatinya dengan memutar arah balik mencari jalur alternatif. Meski sudah menggunakan mobil double cabin, tetap saja tidak bisa melaju dengan cepat.
Penduduk dengan jumlah 181.634 jiwa yang hidup di kawasan tersebut boleh dikatakan beragam, mulai Suku Dayak, Melayu, hingga China. Namun, tidak sedikit warga transmigran seperti Madura, Batak, dan Jawa.
Meskipun mereka beragam suku dan agama, masyarakat Sekadau dapat hidup berdampingan rukun dan damai. Kalaupun ada perselisihan, para sesepuh dan ketua adat biasanya menyelesaikan dengan jalan musyawarah menggunakan adat istiadat setempat.
Bahasa sehari-hari yang mereka gunakan juga beragam, sesuai suku yang didiami. Agama yang dianut ada Islam, Kristen, Hindu, juga Buddha.
Selama perjalanan, Okezone melewati pohon-pohon kelapa sawit yang menjulang tinggi dan warga-warga yang sedang menunggu pelanggan datang ke warungnya, atau menumbuk padi, sebagai salah satu pekerjaan sehari-hari mereka di Satuan Permukiman (SP) yang merupakan wilayah tempat tinggal untuk transmigran.
Sebelumnya
1 / 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar