TEMPO.CO, Jakarta - Ronny William, 44 tahun, menyeka air matanya saat berjumpa dengan istrinya setelah enam bulan menjadi sandera kelompok bersenjata di Benghazi, Libya. Sebelum dipertemukan, Ronny bahkan sempat was-was apakah istrinya masih mengenalinya.
Peristiwa penyanderaan terhadap Ronny dan lima anak buah kapal warga negara Indonesia (WNI) lain di Benghazi terjadi pada 23 September 2017. Ketika itu, kapal Salvatur VI baru saja tiba di 23 mil laut dari Benghazi. Baru enam ekor ikan berhasil ditangkap, mendadak kapal berbendera Malta itu didekati sekawanan orang-orang bersenjata. Mereka merampas semuanya, mulai alat navigasi, alat komunikasi, kulkas, uang, hingga pakaian dalam. Semua barang-barang itu dirampas lantaran para perampok yang merupakan anggota kelompok pemberontak di Benghazi itu dalam kondisi sangat sulit.
Baca: Kelompok Penyandera 6 ABK WNI di Libya Bukan Jaringan Taliban
Ronny William, 44 tahun, ABK WNI yang bebas dari penyanderaan oleh kelompok bersenjata di Benghazi, Libya, 2 April 2018. TEMPO/Suci Sekar
Saat penyanderaan, total ada 7 orang di dalam kapal Salvatur VI, 6 ABK WNI, dan 1 kapten kapal warga negara Italia. Sepekan setelah disandera, kapten kapal dibebaskan. Kondisi ini membuat Ronny dan teman-temannya gelisah karena mungkin akan mendapat pembebasan dari para pemberontak.
"Kapten ikut diculik, tetapi setelah seminggu dia memiliki alasan untuk keluar dari penyanderaan. Dia kehabisan insulin. Di Benghazi tidak ada insulin," kata Ronny.
Baca: Pembebasan ABK WNI di Libya tanpa Uang Tebusan
Pada dua bulan pertama, Ronny dan 5 ABK WNI lain tidak bisa berkomunikasi dengan anggota keluarga mereka di Tanah Air. Namun pada Desember 2017, setelah tercipta kesepakatan antara Kementerian Luar Negeri Indonesia dan para penculik, mereka akhirnya diizinkan melakukan komunikasi ke luar.
"Setelah dua bulan disandera, saya baru bisa melakukan komunikasi dengan istri. Saat ngobrol, saya terkejut karena istri saya sudah tahu saya disandera karena dia langsung menghubungi pemilik kapal saat tak ada kabar dari saya," ujar Ronny.
Ronny dan lima ABK lain disandera di dalam kapal mereka sendiri. Untuk makan sehari-hari, perusahaan pemilik kapal menyuplai bahan makanan. Namun pasokan makanan itu sering datang terlambat.
"Selama enam bulan penyanderaan, kami bertahan hidup dengan menangkap ikan teri di sekitar kapal. Sebagian hasilnya kami jual melalui salah seorang milisi penjaga yang kebetulan baik kepada kami. Uang hasil penjualan dibelikan beras dan bahan makanan," ucap Ronny.
Lautan sudah biasa dihadapi Ronny yang sudah lebih dari enam tahun melaut sebagai ABK. Namun melihat bom meluncur dan suara tembakan bertubi-tubi adalah pengalaman yang tak bisa dia lupakan.
"Sampai Desember 2017, kami masih melihat dengan jelas pertempuran antara kelompok milisi yang menguasai Benghazi dengan milisi ISIS. Bahkan salah satu bom sempat nyasar dan mendarat di dekat kapal di mana kami disandera," tutur Ronny.
Sejak revolusi 2011 hingga sekarang, Benghazi masih diselimuti peperangan. Pelabuhan dan Kota Benghazi sudah seperti kota mati. Hanya ada reruntuhan perang dan rongsokan kapal ikan di mana-mana.
Tipis peluang bebas hidup-hidup bagi Ronny dan lima ABK lain, yakni Joko Riadi, Haryanto, Waskita Idi Patria, Saefudin, dan Mohamad Abudi. Namun mereka meyakinkan diri bisa keluar dari penyanderaan menyusul sikap para pemberontak yang mulai melunak dan mau bernegosiasi tanpa uang jaminan.
Harapan dan segala ketidakpastian nasib Ronny dan kawan-kawan akhirnya terjawab pada 27 Maret 2018 pukul 12.30 waktu setempat. Tim pembebasan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Tripoli, Badan Intelijen Negara, dan Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri datang menjemput mereka di pelabuhan ikan Benghazi. Mereka memeluk anggota tim penyelamat satu per satu dengan air mata tertahan. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan bebasnya para sandera ini adalah sebuah berkah dari Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar