Meski telah dua abad berlalu, kisah dan sosok bangsawan Kesultanan Yogyakarta pengobar 'Perang Jawa' (Java Oorlog), Pangeran Diponegoro, tetap lestari dalam benak ingatan publik. Bahkan, belakangan seiring dengan terbitnya buku 'Kuasa Ramalan' karya sejarawan asal Inggris Peter Carey, nama cucu laki-laki,Sultan Hamengku Buwono ke II ini berkibar-kibar kembali.
Agar tidak terus memendam rsaa penasaran, maka kini publik bisa menyaksikan secara langsung beberapa peninggalan penting dari sang pangeran saat memimpin perang yang membuat bangkrut dan membunuh 12.749 serdadu kolonial Belanda (8.000 di antaranya orang berasal dari negeri Belanda).
Dan selama perang lima tahun itu dana sebesar f.25.000.000 telah dihabiskan. Jadi bila di rata-rata selama setahun saat itu Belanda harus mengeluarkan dana hingga f.5000.000. Jumlah ini kala itu jelas sangatlah besar.
Keras dan berdarahnya amuk perang Jawa ini kemudian membalikan anggapan pejoratif kepada orang Jawa bahwa mereka itu sekelomok suku yang terdiri dari para pemalas, pengecut, dan bodoh.
''Perang ini kemudian membuktian bahwa prajurit Jawa ternyata sangat mengagumkan. Prajurit Jawa yang secara lahiriah tampak bodoh dan pemalas terbukti adalah prajurit yang pemberani, ulet, dan tangguh dalam berperang.,'' kata sejarawan Saleh A Jamhari pada acara pembukaan 'Pameran Warisan Diponegoro[ di Museum Nasional Indonesia, Jakarta (18/5).
Pihak pemerintah kololian Belanda pun mengakui perang itu sangat menyulitkan mereka. Bahkan kas negara Belanda terancam bangkrut dan nantinya akan mereka balas dengan mengeluarkan kebijakan 'Tanam Paksa' tak lama kemudian setelah perlawanan Diponegoro dapat mereka padamkan.
''Pada perang jangka panjang yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro dan Jendral de Kock ini, secara militer tidak ada pihak yang mengklaim sebagai pemenang. Ternyata Dipanegara tidak dapat ditaklukan dengan kekuatan senjata. De Kock mengexploatasi dan mengeksplorasi nilai-nilai budaya Jawa untuk mengaalahkan Diponegoro sekaligus orang Jawa. Menang tanpa ngasoraken (menang tanpa merendahkan) itulah salah satu kunci yang digunakan oleh Jendral de Kock,'' kata Jamhari.
Dan dari kecamuk perang itu, hampir dua ratus kemudian beberapa sisa kecamuknya masih bisa dilihat di Museum Nasional hinggga 22 Mei mendatang. Artefak itu adalah pelana kuda, tombak, lukisan hingga tongkat ziarah Diponegoro 'Kanjeng Kiai Cakra'.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar