Natisha
Facebook/Khrisna Pabichara Marewa
Bisnis.com, MAKASSAR - Sebuah novel dengan latar tentang kebudayaan Bugis-Makassar dan krisis ekonomi 1998 dihadirkan oleh penyair asal Sulawesi Selatan, Khrisna Pabichara dengan judul Natisha: Persembahan Terakhir.
Novel terbaru pria yang akrab disapa Daeng Marewa tersebut diluncurkan pada hari pertama pelaksanaan Makassar International Writers Festival 2016 di Benteng Fort Rotterdam, Makassar, Rabu (18/5/2016).
Natisha merupakan tokoh perempuan yang menjadi sentral dari keseluruhan cerita dalam novel setebal 424 halaman ini.
Kisah berawal saat Natisha, seorang putri bangsawan Makassar kabur bersama pria bernama Rangka, sehari menjelang pernikahannya.
Rangka diketahui sebagai penganut parakang, yaitu ilmu kuno yang mampu membuat penganutnya kaya raya, awet muda, serta kebal segala jenis senjata.
Natisha yang telah diguna-guna akan dijadikan sebagai persembahan terakhir untuk menyempurnakan ilmu hitam tersebut.
Khrisna yang merupakan seorang penyair merangkai kisah dalam novel ini dengan narasi-narasi yang indah, dan mengajak para pembacanya menyusuri lorong-lorong gelap di salah satu penjuru Nusantara.
Hal itu mampu menghipnosis para penikmatnya sekaligus membuat mereka terperangah dengan kisah yang menggambarkan bahwa cinta dan angkara murka memiliki perbedaan yang sangat tipis.
Novel yang diterbitkan oleh Exchange tersebut diakui membutuhkan proses panjang sebelum akhirnya bisa dinikmati pembaca.
Khrisna mengatakan sudah mulai melakukan riset terhadap tema yang dia angkat tersebut sejak SMP, dan mulai menuliskannya pada 2005.
Proses penulisannya pun tidak berlangsung dengan mudah, berbagai halangan dia terima bertubi-tubi mulai dari hilangnya semua tulisan yang disimpan di disketnya pada 2005, hingga tragedi hilangnya laptop yang menyimpan data tulisannya pada 2011.
"Natisha membutuhkan waktu hingga 11 tahun, setelah mengalami keguguran hingga tiga kali sejak 2005 sebelum lahir dan bisa ditimang-timang oleh pembaca," paparnya.
Pria asli Jeneponto tersebut mengakui sempat menyerah untuk melanjutkan proyek yang disebutnya sebagai saripati jiwanya tersebut.
Namun, pada akhir 2015 dia bertekad menyelesaikan Natisha, dan kemudian selesai pada awal tahun ini.
"Komposisi novel ini sebanyak 70% merupakan kisah cinta, 20% tentang parakang, dan 10% tentang politik," katanya.
Shinta Febriany, seorang penulis dan pembahas buku Natisha menilai novel yang dibungkus dengan sejarah serta tradisi suku Makassar dan Bugis yang sangat kental tersebutakan membawa para pembaca dari satu kisah di masa lalu, kemudian ke masa depan.
"Tema mayor dari novel ini merupakan kisah cinta yang pahit dan menyedihkan, dengan latar wilayah yang sangat spesifik. Para pembaca bisa membacanya dengan pendekatan antropologis dan sosiologis," katanya.
Namun, Shinta mengatakan, pembaca di luar Sulawesi Selatan kemungkinan akan sedikit terganjal dengan banyaknya istilah-istilah Bugis-Makassar yang digunakan penulis. Sehingga kegiatan membaca tidak akan mengalir lancar karena harus terganggu membaca catatan kaki terlebih dulu.
Sementara itu, perwakilan dari penerbit, Pringadi mengatakan kekuatan dari buku ini ada pada penokohan karakter, latar cerita, kisah cinta dan kuat, hingga adanya sentuhan politik.
"Khrisna membuka tulisannya dengan luar biasa, serta memiliki nilai lokalitas yang kuat. Hal ini bisa menyuarakan suara dari timur yang belum banyak diketahui orang," katanya.
Khrisna mengawali karir kepengarangannya dengan menerbitkan buku nonfiksi sebelum meluncurkan debut buku kumpulan cerita pendeknya yang berjudul Mengawini Ibu pada 2010, sedangkan debut novelnya terbit pada 2012 dengan judul Sepatu Dahlan.
Setelah itu, pria kelahiran '75 ini menerbitkan novel lanjutan tentang biografi Dahlan Iskan dengan judul Surat Dahlan pada 2013.
Sementara itu, karya lainnya yang telah diterbitkan adalah Gadis Pakkarena (2012), kumpulan puisi Pohon Duka Tumbuh di Matamu (2014), dan karya-karya lainnya tersebar dalam buku-buku antologi puisi dan kumpulan cerita pendek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar