Kepada CNNIndonesia.com, Senin (16/5), Dita membuka kembali lembaran-lembaran hidupnya kala itu yang dipenuhi duri.
6 September 1996
Pagi-pagi Dita sudah membersihkan sel kecil tempat ia bersama tujuh narapidana lain ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Desa Medaeng, Sidoarjo, Jawa Timur. Ia, setelah mandi dan merapikan pakaian, tak lupa menyisir rambut yang sudah mulai kusut tak terurus.
Hari itu dinanti-nanti Dita. Ibunya akan datang membesuk. Itu jadi kesempatan kedua bagi Dita untuk bertatap muka dengan sang ibu setelah dia dijebloskan ke penjara pada 8 Juli 1996. Dita bertekad, kali ini dia ingin memberikan kesan dirinya baik-baik saja. Dengan demikian ibunya tak perlu mengkhawatirkan keadaannya.
Setelah beberapa saat menanti, alih-alih melihat sang ibu, sang pengacaralah yang menghampirinya di ruang tunggu. Dita sontak bertanya, di mana ibunya yang hendak membesuk.
Jawaban yang ia terima bak petir di siang bolong. "Ibu Anda baru saja meninggal, terkena stroke saat perjalanan mau membesuk," ujar si pengacara.
Dita syok. Tak pernah sekalipun menyangka ibunya bakal meninggalkan dia dengan cara seperti itu. Kenangan akan sang ibu bermunculan di benak, membuat Dita kian sedih.
Ia ingat, ibunya pernah mengutarakan niat untuk menyewa rumah di Malang setelah mengetahui dia bakal dipenjara dalam waktu lama dan akan dipindahkan di Lapas Wanita Kelas IIA di Jalan Kebonsari, Malang, Jawa Timur.
Dita, setelah dibantu pengacaranya melobi pihak Lapas, akhirnya mengizinkan Dita melihat jenazah ibunya yang dimandikan dan disemayamkan di sebuah rumah sakit di Surabaya. Ia hanya mendapat waktu setengah jam untuk jasad ibunda.
Pun, kehadiran Dita di rumah sakit mendapat bermacam respons dari keluarga besarnya. Banyak yang tak paham alasan Dita, mahasiswa berusia 23 tahun, mau mempertaruhkan hidup 'hanya' untuk membela hak-hak orang lain, terutama buruh, dengan turun ke jalan dan membuatnya berakhir dipenjara.
Dita kerap memperjuangkan hak-hak kaum buruh pada masa Orde Baru. Ia mengajak para buruh turun ke jalan. Jumlah demonstran buruh yang ia pimpin bisa sampai puluhan ribu. Karena kegiatannya mendesak pemerintah mendengarkan tuntutan para buruh, Dita jadi aktivis yang sering keluar-masuk ruang tahanan.
"Saya sudah sering ditangkap polisi dan tentara, tapi biasanya penahanan hanya 1 x 24 jam dan terlama 3 x 24 jam di Kantor Kodim Tangerang, kemudian dilepas lagi karena mungkin dianggap belum terlalu membahayakan," ujarnya.
Namun karena jumlah demonstran yang ikut Dita turun ke jalan kian hari makin banyak, ia akhirnya ditangkap aparat. "Tadinya cuma 100 orang, jadi 500 orang, jadi 5.000 orang. Terakhir saya demo di Tandes, Surabaya, dengan 20 ribu orang buruh dari 11 perusahaan pada 8 Juli 1996. Akhirnya saya ditangkap, dianggap sebagai ancaman."
Menurut Dita, tuntutan buruh kala itu sebenarnya tidak banyak, yakni kenaikan upah minimum menjadi Rp7 ribu per hari, kebebasan berserikat, dan dihentikannya intervensi militer dalam segala aspek kehidupan, termasuk di serikat pekerja.
Oleh sebab terjadi eskalasi jumlah demonstran, tuntutan jadi semakin politis. Dita yang dianggap sebagai dalang ditangkap dan dijatuhi Pasal Penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal 134 KUHP menyebutkan penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak Rp4.500.
Tak lama setelah Dita dijebloskan ke jeruji besi, kerusuhan pecah di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, 27 Juli 1996. Partai Rakyat Demokratik, organisasi Dita, dituding jadi penggerak kerusuhan.
Dita pun dijatuhi hukuman berbeda. Tuntutan yang semula hanya pasal pidana, bergeser jadi tuntutan subversif karena ia dianggap ingin mengubah ideologi negara menjadi komunis. Hukuman bertambah menjadi delapan tahun penjara.
Nasib Dita berubah, dari tahanan kriminal menjadi tahanan politik. Ia dituduh aktif menyebarkan paham yang cenderung 'kiri'. Apapun yang ia dan rekan-rekannya lakukan selalu dipandang bermuatan komunisme oleh pemerintah.
Dita mengatakan, saat itu para aktivis memang banyak mendapat referensi dari buku-buku Karl Marx, Friedrich Engels, dan Ludwig Feuerbach. Mereka juga memperkaya ilmu dengan membaca hasil pemikiran orang 'kiri' baru lain seperti Immanuel Kant, Max Weber, Frakfurter Schule, dan Theodor Adorno.
Meski banyak belajar dari marxisme, Dita mengatakan selalu memperlakukan paham itu dengan cara sama seperti paham lainnya, yakni menerapkan yang dianggap baik, dan meninggalkan yang dianggap salah.
Dita menyayangkan pandangan orang-orang yang menyederhanakan ideologi marxisme menjadi seakan-akan suatu paham yang mengajarkan ateisme.
"Padahal tidak ada di situ. Ketika bicara soal buruh, kita bicara soal nilai lebih, upah, dan kapitalisme, tapi kita tidak bicara soal Tuhan. Enggak ada urusan. Tapi orang simplifikasi marxisme itu berarti ateis, padahal yang mengajarkan bahwa Tuhan tidak ada itu Friedrich Nietzsche loh," ujarnya.
Dita menyebut simplifikasi pemikiran Marx sebagai tindakan yang konyol dan bodoh, karena membuat teori yang netral seperti teori-teori sosial lain, menjadi buruk dan seakan tak layak dijadikan referensi. Padahal pejuang kemerdekaan Indonesia seperti Sukarno, Hatta, dan Agus Salim juga belajar marxisme.
"Hantu komunisme memang dipelihara Orde Baru sampai sekarang, untuk sewaktu-waktu bisa dipakai. Itu seperti mengunyah makanan basi. Mereka selalu mereproduksi hal itu untuk menakut-nakuti, demi kepentingan politik," kata dia.
Disebut komunis dan dipenjara tentu membuat orangtua Dita cemas bukan main. "Mereka enggak happy dengan keadaan saya, perempuan tanpa penghasilan. Hidup 'tanpa tujuan.' 'Tujuanmu apa? Mau jatuhkan Suharto? Itu bukan sebuah profesi,'" ujar Dita menirukan protes orangtuanya.
Meski ditentang keluarga, Dita berkukuh. Dia percaya yang ia lakukan benar dan tak pernah menyesal menjadi pejuang hak-hak buruh. "Rakyat butuh makan dan demokrasi. Itu tuntutan yang semua orang bisa memahami kebenarannya. Walau takut, jalan terus saja," ujarnya.
Keluarga besar dan orang-orang sekitar mulai menjauhi Dita dan keluarga intinya. Tekanan demi tekanan jadi salah satu pemicu ibu Dita terserang stroke dan akhirnya wafat. Meski begitu, Dita masih merasa beruntung karena ayah dan kakaknya tak pernah menyalahkan dia. Keduanya tetap merawat Dita hingga masa hukumannya usai.
6 Juli 1997
Dita mulai terbiasa hidup berdampingan dengan para penghuni hotel prodeo di Lapas Wanita Kelas I Medaeng, Sidoarjo. Dalam rentang setahun, ia pernah satu sel dengan penculik anak, pembunuh bayi, penipu, penganiaya, pembunuh, dan pengedar narkotik.
Tak jarang Dita dihujani pertanyaan dari narapidana lain yang penasaran ihwal penyebab ia mendekam di lapas itu. Dengan wajah terheran-heran, salah seorang napi bertanya, "Kalau saya jualan narkoba untuk sekolahkan anak. Nah, Mbak Dita sudah jelas kuliah, keluarga baik-baik, ngapain kok mengurusi orang lain? Pakai demo segala, kalau ditangkap kan rugi sendiri."
Napi lain menyahut, "Mbak Dita setelah keluar langsung nikah saja, jangan demo-demo lagi. Umur akan jadi 30 tahun loh kalau bebas nanti. Ngapain dulu kok demo untuk buruh. Sekarang Mbak masuk penjara, ibunya meninggal, buruh-buruh yang Mbak bela ke mana? Kok enggak ada yang besuk?"
Mendengar rentetan pertanyaan kawan-kawan satu selnya, Dita terkekeh. Ia sendiri merasa kewalahan mengedukasi mereka mengenai perjuangan yang ia lakukan demi kesejahteraan buruh. Namun ia merasa beruntung diperhatikan mereka.
Dari penjara, Dita tetap aktif memperjuangkan hak-hak kaum lemah. Ia membantu mengadvokasi narapidana yang haknya sering dilanggar oleh pihak lapas. Kala itu ia menuntut tiga hal: larangan penarikan uang besuk oleh sipir, perbaikan kualitas makanan untuk narapidana, dan larangan sipir menggoda istri para narapidana laki-laki yang sedang membesuk.
Dua minggu setelah Dita menyampaikan aspirasinya kepada Kepala Lapas, terjadi kerusuhan dan kebakaran di penjara yang ia huni. Penyebab kerusuhan diduga karena perlakuan petugas lapas yang semena-mena kepada para narapidana.
Dita dianggap menjadi salah satu tahanan yang mendorong narapidana lain membakar Lapas. Bantahannya tak berarti. Dia pu dipindah ke Malang.
6 Juli 1998
Dita menjalani aktivitas di rumah tahanan yang belum lama ia huni, Lapas Wanita Kelas IIA Tangerang, Banten. Beberapa bulan lalu ia dipindah ke sana dari sel tahanan Lapas Wanita Kelas IIA Malang.
Saat itu Dita telah mendengar bahwa dua bulan sebelumnya terjadi gerakan supermasif oleh mahasiswa untuk menjatuhkan rezim Suharto. Meski tak banyak informasi yang ia himpun dari balik sel, Dita tetap lega dan bangga akan apa yang dicapai bangsa ini: menggulingkan kekuasaan otoriter Suharto.
"Meski peran saya dan teman-teman tidak banyak, saya bangga pernah menjadi bagian dari upaya itu," ujar Dita.
6 Juli 1999
Dita tak sabar ingin segera menghirup udara bebas. Tiga hari lagi, 9 Juli 1999, ia akan menerima amnesti dari Presiden Habibie. Dita yang semula menerima vonis delapan tahun penjara akhirnya hanya menjalani hukuman kurungan tiga tahun.
15 Februari 2011
Dita resmi ditunjuk Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar sebagai staf khusus menteri. Situasi politik sudah banyak berubah, dan orang bebas bicara dan berdemonstrasi.
"Kebebasan buruh untuk berserikat kemajuannya 200 persen dibanding zaman dulu, walau kadang agak kebablasan. Sekarang 10 orang saja sudah bisa berserikat di perusahaan. Kalau dulu mana bisa, kecuali berafiliasi dengan serikat pekerja yang sudah diperbolehkan oleh pemerintah," ujar Dita.
Sampai saat ini, kata Dita, dia masih memberi masukan untuk Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri terkait kebijakan yang berpihak pada pekerja.
Hidup Dita tak lagi pahit. Namun, ujarnya, menjadi staf khusus menteri dan bekerja dalam sistem birokrasi sungguh tak seindah yang dibayangkan. Dita terus berjuang. (agk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar