Selasa, 21 Juni 2016

Legenda Jawara Betawi Si Pitung dan Wa Item

Jakarta, CNN Indonesia -- Banyak legenda yang berkembang mengenai ketokohan seorang jawara atau ahli bermain silat di masyarakat Betawi. Legenda yang berkembang secara lisan dalam budaya Betawi di antaranya mengenai sepak terjang Si Pitung dan Wa Item.

Si Pitung merupakan ikon paling populer dari ketokohan jawara di masyarakat Betawi. Dia diperkirakan hidup di abad 19 pada masa era kolonial Belanda.

"Banyak kisah yang beredar mengenai ketokohan Si Pitung, sehingga beberapa fakta di sekitarnya menjadi kabur," kata Yahya Andi Saputra, sejarawan asal Universitas Indonesia kepada CNNIndonesia.com, awal Juni lalu. 

Menurut Yahya, karena menjadi inspirasi perjuangan masyarakat Betawi masa kolonial, Pitung menjadi kisah dalam kesenian tradisional seperti topeng Betawi. Sejak itu Si Pitung menjadi legenda dengan cerita yang beragam.

Sejarawan Belanda Margreet van Tiil dalam In Search of Pitung: The History of an Indonesian Legend, melakukan penelusuran mengenai kisah Si Pitung. Till menduga nama asli Si Pitung adalah Solihun.

"Nama Solihun itu hanya salah satu saja, nama aslinya belum ada yang bisa memastikan," kata Yahya.

Banyak kisah yang beredar mengenai ketokohan Si Pitung, sehingga beberapa fakta di sekitarnya menjadi kabur. Yahya Andi Saputra


Lewat penelusuran berbagai media kolonial, kisah Si Pitung dikaitkan dengan berbagai aksi perampokan. Salah satunya, aksi Si Pitung terekam dalam media Hindia Olanda, koran terbitan Malaysia, pada edisi 22 November 1892.

Di media kala itu, Si Pitung disebut dengan nama yang berlainan seperti "One Bitoeng", "Pitang", kemudian menjadi "Si Pitoeng".

Sebuah rumah di Marunda, Jakarta Utara dipercaya sebagai milik Si Pitung. Ada pihak lain yang mengatakan, rumah itu milik pedagang kaya bernama H. Syafiuddin yang dirampok Si Pitung.

Pengelola Rumah Si Pitung Muhammad Isa Ansyari mengatakan, Pitung lahir di Rawa Belong, Jakarta Barat dari seorang ibu keturunan Cirebon dan ayah dari Tangerang. Ia diperkirakan lahir tahun 1864. Tahun 1800-an, Rawa Belong menurut Isa masih jadi bagian Distrik Tangerang.

"Masa Si Pitung lahir, kondisi sosial di Batavia banyak tuan tanah," kata Isa.

Para tuan tanah itu mendapat sertifikat dari pemerintah Hindia Belanda. Mereka berhak mengelola tanah yang diberikan sertifikatnya itu dengan kewajiban membayar pajak setiap tahun.

Di atas tanah itu ditanami berbagai macam tanaman produktif. Karena itu di Jakarta dan sekitarnya banyak wilayah dinamai naman kebun tanaman seperti Kebon Kelapa, Kebon Jeruk, Kebon Nanas, Kebon Kacang, Kebon Sirih dan beberapa nama tempat lain.

Tak cuma menanami, tuan tanah juga menarik pajak para penduduk yang tinggal di atas lahan yang mereka kuasai. Nilai pajaknya terbilang tinggi untuk saat itu sehingga banyak penduduk tak sanggup membayar.

"Penduduk yang tidak sanggup membayar pajak, tuan tanah melalui centeng dan mandor merampas hartanya," kata Isa.

Berawal dari sinilah, penduduk kerap meminta bantuan Si Pitung untuk mengambil kembali harta yang dirampas centeng dan mandor. Pitung saat itu dikenal sebagai pemuda yang penuh semangat dan mahir silat.

Setelah melalui pertarungan silat, Si Pitung berhasil mengambil kembali harta penduduk yang dirampas. Meski dia menolong rakyat, namun bagi Belanda apa yang dilakukan Pitung adalah pelanggaran hukum. Karena itu Pitung menjadi buronan nomor satu hingga akhirnya tewas ditembak tentara Belanda.

Pelabuhan Kalapa, Batavia. (Andries Beeckman via Wikimedia (CC-PD-Mark)
Selain kisah Si Pitung, legenda jawara lainnya adalah kisah Wa Item. Wa Item adalah seorang syahbandar yang memimpin kawasan Kalapa, nama lawas Pelabuhan Sunda Kelapa.

Kala itu, wilayah Jakarta di bawah Kepatihan Kertajaya dengan nama patihnya Mundari. Dulu bangunan kepatihan berada di Jalan Kerta Jaya, Bandengan. Kepatihan ini berafiliasi Kerajaan Sunda Padjajaran.

Wa Item, selain syahbandar juga dikenal sebagai jago beladiri yang terkenal dengan goloknya yang terbuat dari emas. Menurut budayawan Ridwan Saidi, cerita rakyat soal Wa Item, disebut dalam naskah Sunda Lalampahan Bujangga Manik.

"Wa Item ini jago, kalau enggak jago enggak bisa diangkat jadi syahbandar," kata Ridwan kepada CNNIndonesia.com, awal Juni lalu.

Jurus silat yang dikuasai Wa Item menurut Ridwan disebut dengan aliran Syahbandar.

Tugas utama Wa Item sebagai syahbandar adalah mengurusi pabayaan atau kepabeanan. Sehari-hari, Wa Item dibantu oleh 20 orang pegawai.

Pada suatu malam, yang diperkirakan tanggal 22 Juni 1527, tentara Fatahillah menyerbu markas Wa Item. Wa Item dibantu para pegawainya menghadapi tentara. Penyerbuan ini membuat Wa Item dan Patih Mundari tewas dan mayatnya dibuang ke laut.

"Bukan Portugis yang diserang oleh Fatahillah saat itu, melainkan Orang Sini, sebutan untuk suku Betawi dulu," kata Ridwan.

Dari kisah Wa Item ini, kata Ridwan, tidak seharusnya hari ulang tahun Jakarta dirayakan setiap tanggal 22 Juni.

Menurut Yahya, ada jejak sejarah yang ditinggalkan mengenai keberadaan syahbandar yang diserang Fatahillah. "Nama syahbandar itu yang masih perlu ditelusuri lebih lanjut," kata Yahya.

Syahbandar yang diserang Fatahillah itu, kata Yahya, bagian dari Kerajaan Sunda Padjajaran yang membuat perjanjian dengan Portugis.

"Naskah perjanjiannya yakni Prasasti Padrao ada di Museum Sejarah Jakarta," kata Yahya.

Sejak lima tahun terakhir, kata Yahya, cerita mengenai syahbandar ini menjadi topik perdebatan yang hangat di kalangan sejarawan ibu kota.

"Beberapa kali ada diskusi dengan pemerintah DKI Jakarta dan pembahasannya hingga kini belum tuntas," kata dia. (sur/yul)

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search