Senin, 01 Agustus 2016

Kisah Sukses Buruh Batik Kuliahkan Anaknya di Jepang

Kesulitan ekonomi tak menjadi rintangan berat bagi Suparno dan Tunas Setiyawati. Pasangan yang bertempat tinggal di Pekalongan ini masih berjibaku dalam dunia perbatikan. Mereka harus menyelesaikan pengecapan ataupun penulisan pola batik dari pagi hingga sore demi membiayai kehidupannya. Tak ada pekerjaan lain yang dilakukan dari pasangan yang memiliki enam anak ini selain menjadi buruh batik.

Dikaruniai enam anak, mau tak mau Suparno harus bekerja keras untuk membiayai kehidupan keluarganya. Terlebih lagi anak pertamanya, Miftkahul Huda, yang sangat suka dengan belajar. "Dari kecil sampai SMA, dia (Miftakhul) selalu mendapatkan ranking satu," ungkap Suparno sambil memegang pipinya yang kala itu sedang diterpa penyakit gigi di Hotel Menara Peninsula, Jakarta, Jumat malam (29/7).

Suparno maupun Tunas mengaku sama-sama tak pernah mengenyam pendidikan tingi. Pria kelahiran 1959 ini tak pernah mengecap bangku SD sekalipun, sedangkan sang Istri tidak sampai lulus. Atas dasar inilah, Suparno menegaskan, tidak ingin anak-anaknya mengalami hal sama seperti dirinya. "Jangan sampai anak saya merasakan seperti yang saya rasakan. Meski saya tidak punya biaya, saya tidak akan pernah menyuruh anak untuk berhenti sekolah. Insya Allah, saya yakin biaya pasti ada. Bismillah," ujarnya, seperti dikutip dalam Profil Penerima Penghargaan Orang Tua Hebat karya Sahabat Keluarga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Pada masa-masa pembayaran sekolah ataupun kuliah adalah momen di mana dia harus ekstrakerja keras, termasuk meminjam uang ke pemimpin perusahaan batiknya untuk membiayai pendidikan anaknya. Di tengah kerja kerasnya, kabar bahagia datang dari Miftakhul. Dia dinyatakan telah diterima di program Diploma Tiga (D-3) Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN).

Namun, di balik kabar bahagia itu, Suparno juga merasa panik karena harus membiayai uang pendaftaran dan lainnya, termasuk biaya kehidupan sehari-hari si anak sulung ini. Dia sempat merasa bingung, tapi pada akhirnya Allah SWT selalu memberikan jalan kepadanya. Ia bersyukur selalu ada kawan yang rela menolongnya meminjamkan uang dan kini utang itu sudah terlunasi.

Kebanggaan Suparno terhadap Miftakhul tidak berhenti begitu saja. Menjelang satu tahun di STAN Banten, dia diterima sebagai penerima beasiswa D-2 Monbusho dari Kementerian Pendidikan, Iptek, Olahraga, dan Budaya Jepang. Karena kesempatan tidak akan dua kali, ia pun terpaksa meninggalkan STAN dan pergi ke Jepang.

Sejak 2006 hingga 2008, si sulung fokus menjalankan D-2-nya hingga kembali memperoleh beasiswa S-1 di Universitas Gunma, Jepang, dengan jurusan teknik listrik dan elektronik. Tak berhenti di situ, dia pun lagi-lagi memperoleh beasiswa S-2 di jurusan teknik sistem industri di universitas yang sama hingga 2012. Miftakhul berhasil menyelesaikan kuliahnya ini dengan predikat sebagai lulusan terbaik. Bahkan, dia sempat mengundang kedua orang tuanya ke Jepang demi melihatnya sebagai lulusan terbaik.

Karena prestasinya yang luar biasa, dia pun mendapatkan beasiswa S-3 dari yayasan milik Sanrio.co.ltd dan dana penelitian dari Japan Society for the Promotion of Science (JSPS). Dia pun berhasil menyelesaikan kuliahnya di jurusan nanoteknologi, semikonduktor, dan sel matahari di Universitas Gunma dalam waktu dua tahun. Setelah memperoleh titel doktor, dia pun direkrut sebagai peneliti postdoctoral di bawah JSPS. Selanjutnya, Miftakhul pindah bekerja di perusahaan NBC Meshtec Inc sampai 2016. Saat ini, dia menjadi peneliti di Tokyo Insitute of Technology program ERATO.

Suparno mengungkapkan, adik-adik Miftakhul pun kini mulai berkeinginan untuk sekolah tinggi.  "Kalau harapan saya, saya ingin dia balik ke Indonesia supaya ilmunya digunakan di Indonesia," kata Suparno. Karena kisah Suparno begitu menginspirasi, Kemendikbud melalui Direktorat Pembinaan Keluarga pun memilihnya sebagai orang tua hebat. Pada Sabtu (30/7), Suparno dan istrinya menerima langsung penghargaan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy di Gedung A, Kemendikbud, Jakarta. Oleh Wilda Fizriyani ed: Andri Saubani

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search