Wajah berseri serta tetap senyum nampak pada Sekarsari, Selasa (9/8/2016). Cucuran keringat membasahi sekujur tubuhnya. Saat bertemu detikcom, dia tengah mengangkut pasir hasil penambangan ke atas pikap.
Pasir yang diangkut Sekarsari berasal dari aliran Sungai Sambong yang melingkari wilayah desanya. Sungai ini terletak di sisi selatan Bendungan Selorejo dan bermuara di lereng Gunung Kelud.
Foto: M Aminuddin/detikcom |
Sekarsari tidak sendiri. Dia dibantu oleh Rajit (12), putra pertamanya. Rajit sudah tidak bersekolah lagi, gagal lulus SD. Ada juga putri bungsunya, Aurelia, yang masih duduk di bangku taman kanak-kanak.
Menurut Sekarsari, putrinya terkadang menghampiri lokasi dimana dirinya mengangkut pasir. Jarak rumah dengan 'tempat kerja' Sekarsari kurang lebih 1 kilometer.
Sekarsari hanya memperoleh upah sebesar Rp 10 ribu untuk mengisir pasir satu pikap. Sehari dia bisa mengisi 10 pikap. Hasilnya lumayan, kata dia, menambah pendapatan dari suaminya yang hanya bekerja sebagai buruh tani.
"Paling banyak, saya bisa sepuluh kali," ujar ibu tiga anak ini.
Sekarsari menyebut aliran Sungai Sambong membawa berkah. Dirinya sempat menjadi korban saat letusan Gunung Kelud. Abu vulkanik 'menghajar' kediamannya sehingga harus mengungsi bersama seluruh masyarakat dusun setempat.
Foto: M Aminuddin/detikcom |
"Dulu pas meletus ya ikut ngungsi. Kalau pagi, suami berangkat kerja. Anak-anak sudah sekolah, saya ke sini (lokasi tambang pasir)," tuturnya.
Bagi Sekarsari, pekerjaan ini sudah disukainya. Sehingga secara tidak langsung mengurangi rasa lelah saat mengangkut pasir keatas pick up maupun truk. "Dulu ya buruh tani. Ada kesempatan mengangkut, saya coba-coba. Awalnya capek, tapi sekarang sudah biasa," ceritanya.
Sampai kapan bekerja mengangkut pasir, Sekarsari tidak begitu pasti dapat menerka. Menurut dia, selama ada permintaan jasa mengangkut pasir dirinya akan tetap bekerja demi membantu beban kebutuhan keluarga.
(ugik/try)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar