Rabu, 28 September 2016

Kisah Getir Manusia Bajaj Berjuang Sekolahkan Anaknya

Iwai sempat berpikir ingin menitipkan Amat kepada saudaranya atau menitipkan ke panti asuhan. Bahkan, membuangnya.

"Tapi, semua pikiran buruk itu lenyap pas azan subuh," ucap Iwai.

Usai azan subuh menggema di sekitar Stasiun Cikini, Jakarta Pusat, Iwai bergegas ke masjid sambil menggendong Amat. Pulang dari masjid, dia melihat lelaki membuang tripleks.

"Nah, di sana awalnya, saya minta tripleksnya, saya taruh di dekat kemudi. Eh, pas, saya taruh Amat di samping kemudi, terus paginya saya narik," kata Iwai.

Sejak saat itu, ke mana pun pergi mengantarkan penumpang, Iwai mengajak Amat yang masih belum bisa berdiri itu. Alhasil, tidak jarang penumpang menanyakan keberadaan sang anak.

"Sempat kepikiran juga, saya sempat cari (istri) Tapi, waktu itu dengar kabar, kalau ibunya Amat meninggal, mayatnya katanya ditemuin di sono," beber Iwai seraya menunjuk ke ujung Stasiun Cikini.

Membesarkan Amat bukan perkara mudah. Sebab, sang anak masih butuh air susu ibu atau ASI. Ia juga tak punya uang untuk membeli susu. Alhasil, Iwai terpaksa memberikan air gula untuk buah hatinya.

"Susu mah mahal, ya sudah, saya kasih botol dot, isinya air hangat yang dicampur sama gula," kata dia.

Mat Kentut

Tahun berlalu, Iwai jadi terkenal di antara penarik Bajaj. Rekan rekan sejawatnya kagum melihat sosok Iwai ayah yang tangguh, gigih, sekaligus humoris.

"Itu aki-aki paling senior di sini (Stasiun Cikini), semua sudah tahu gimana dia ngebesarin anaknya si Amat. Dia dipanggil Mat Kentut di sini, paling lucu dah, kalau enggak ada dia enggak ramai," kata Wawan, penarik Bajaj yang sudah delapan tahun mengenal Iwai.

Iwai dan Amat lebur dalam sibuknya kawasan Cikini. Pagi-pagi yang sibuk membuat orang-orang tak sadar selama bertahun-tahun, bahwa ada sosok ayah dan anak lelaki yang hidup di Bajaj.

Hingga usia Amat menginjak tujuh tahun, saat itulah perjuangan Iwai baru dimulai. Amat meminta bersekolah, ia iri dengan teman-teman sebayanya yang sudah memakai seragam sekolah.

"Itu dia, saya udah coba daftarin Amat buat sekolah sejak 2012, apesnya saya enggak punya surat-surat lagi, rumah udah dijual. Surat-surat entah kemana. Akte, surat nikah, KTP atau apapun saya enggak punya," tutur Iwai.

Pada 2012, Iwai memulai perjuangannya. 'Manusia Bajaj' meminta pertolongan kepada ketua RT tempat rumah orangtuanya tinggal. Ia pun mendapat surat pengantar, tapi sampai di kelurahan ia terbentur birokrasi.

"Sudah berkali-kali, dari RT ke RW, nyampe di lurah, enggak bisa ngurus KTP," kata dia.

Empat tahun berlalu, setiap tahun ajaran baru Iwai terpaksa membohongi Amat. Ia terus menjanjikan akan menyekolahkan anaknya itu. Semua usaha sudah ia coba tapi hasilnya sama. Ia tak bisa membuat dokumen untuk syarat sekolah anaknya.

"Akhirnya, pas lagi nunggu penumpang di dekat kantor Wali Kota Timur, saya ketemu teman yang kerja di sana," ujar Iwai sambil tersenyum.

Teman Iwai membantu dan surat-surat pun lengkap. Ia sangat berterima kasih kepada temannya yang bekerja di kantor Wali Kota Jakarta Timur.

Usai surat lengkap, Iwai mendaftarkan anaknya ke sekolah. Beberapa sekolah ia datangi. Tapi sayang, sistem penerimaan siswa baru yang berbasis teknologi dan terhubung ke jaringan internet, membuat Iwai bingung.

Daftarnya kan online. Saya enggak ngerti, punya HP juga buat nelepon doang," kata dia.

Iwai tak putus asa. Sekolah-sekolah dasar ia datangi. Hingga sampai di gerbang Sekolah Dasar Negeri 05 Gondangdia, Jalan Probolinggo, Jakarta Pusat.

"Awalnya saya ragu, karena udah ditolak banyak sekolah. Apalagi Amat udah 11 tahun, eh tahunya di sana saya dibantu buat ngurusnya," kata Iwai tersenyum lebar.

Segala persyaratan sekolah pun rampung. Iwai menjemput Amat yang sedang main di Stasiun Cikini dan kembali menarik Bajaj. Beberapa hari setelah mendaftar, Iwai khawatir pihak sekolah menolak anaknya.

Iwai sengaja tidak memberitahukan Amat kalau ia sudah mendaftar ke sekolah. Seminggu berlalu, dia makin gusar lantaran tak ada kabar. Namun kabar baik datang dari seorang temannya.

"Woi, lu dicariin orang, dia nyari lu terus ke Cikini," kisah Iwai saat bertemu temannya di Pasar Senen.

"Siapa yang nyariin, gue enggak bawa bini orang, gue juga bukan kriminal kayak lu," balas Iwai, gurau.

Iwai mengira temannya hanya bercanda. "Eh, dia nyamperin terus. Sampai di lampu merah Matraman, dia bilang yang nyariin itu guru sekolah."

"Saya gemetar, dia bilang anak saya bisa sekolah," sambung Iwai dengan wajah memerah.

Jelang siang, ia mendatangi sekolah. Iwai dapat kepastian, dan menanyakan apa saja yang harus disiapkan sebelum anaknya masuk sekolah.

"Saya langsung ngambil tabungan, semuanya buat Amat, baju warna putih-putih Senin. Baju merah putih Selasa, pokoknya semua yang dia perlu deh, saya sudah catat semua keterangan gurunya," kenang Iwai.

2 dari 3 halaman


Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search