
Kondisi itu antara lain dipicu gejala el nino yang mempengaruhi sektor pertanian serta lonjakan harga minyak sampai US$ 100/barel. Sehingga, menurut Sri Mulyani, Presiden SBY saat itu harus menghadapi APBN yang tidak kredibel.
Artinya, meski penerimaan negara naik, alokasi anggaran untuk subsidi justru lebih besar lagi.
"Saya diminta jadi Menkeu pada saat APBN sudah agak goyah waktu itu. Jadi, kami harus mengembalikan lagi, bagaimana mengurus subsidi lebih baik sehingga eksposur krisis bisa ditangani," kata Sri Mulyani dalam Seminar Nasional Tantangan APBN dari Masa ke Masa, di Kementerian Keuangan, Jakarta Rabu (30/11/2016).
Selain itu, Sri Mulyani juga menceritakan soal pelaksanaan transfer dana ke daerah saat awal menjabat Menkeu.
"Kita juga menghadapi persoalan mengenai makin banyak fungsi-fungsi yang didelegasikan ke daerah. Undang-Undang (UU) mengenai perimbangan keuangan dihasilkan dan kita melakukan transfer ke daerah yang mulai banyak. Dan itu adalah persoalan yang sama sekali baru bagi Indonesia, " tutur Sri Mulyani.
"Jadi waktu itu secara politik dan keuangan negara dan daerah adalah milestone yang luar biasa bagi Indonesia," kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani menambahkan, saat ini pemerintah berupaya agar APBN disusun secara kredibel. Sehingga saat Menkeu bicara dengan pelaku ekonomi, bisa memberikan sinyal positif dan menenangkan.
"Kalau APBN tidak kredibel, setiap yang diomongin Menkeu jadi tidak kredibel. Jadi, APBN jangan sampai jadi sumber masalah, tapi solusi. Waktu ekonomi lemah, bisa kita jadikan stimulate," ujar Sri Mulyani. (hns/dna)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar