TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Tahun 1980-1990-an, korek api tidak sekadar berfungsi sebagai alat penerang, di Alun-alun Jogjakarta kala itu, korek api difungsikan sebagai media praktik prostitusi.
Sebutlah Diah, tokoh perempuan dalam film berdurasi 12 menit ini.
Dalam situasi ekonomi yang sulit saat itu, ia membutuhkan uang segera.
Kepada temannya, Jarwo, ia menawarkan korek api. Tujuannya agar Jarwo bisa melihat alat vitalnya. Diah menjual sebatang korek api seharga Rp 10 ribu.
"Ini korek api, sebatang aku jual Rp 10 ribu," ujar Diah dalam dialog berbahasa Jawa.
Dengan satu batang korek api tersebut, Jarwo ditawari kesempatan melihat alat kelaminnya.
Dengan melepas celana dalam, secara tersirat, Diah mengarahkan Jarwo ke bawah meja.
"Boleh dilihat, tapi tidak boleh disentuh," lanjut Diah.
Hingga kemudian Jarwo mengambil kesempatan tersebut, dengan sebatang korek api yang ia nyalakan di bawah meja untuk melihat "barang" Diah.
Tentu nyala sebatang korek api tidak seberapa lama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar