Senin, 26 Desember 2016

Kisah 3 Perempuan yang Selamat ketika Gempa Aceh

Jakarta, NU Online

Pagi itu, Rabu 7 Desember 2016, kesadaran Nurhayati belum sepenuhnya datang ketika gempa bumi berkekuatan 6,4 skala richter melanda Pidie Jaya, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

"Saya masih tidur, merasa kayak mimpi. Gempanya bukan goyang, tapi kayak hentakan ke bawah terus ke atas," tutur ibu tiga anak warga desa Loknga, Aceh Besar, kepada saya di lokasi pengungsian warga terdampak gempa di Desa Mesjid Tuha, Meurudu, Pidi Jaya, 13 Desember lalu.

Nurhayati meneruskan cerita. Tak lama setelah hentakan itu ia rasakan, ia segera membangunkan ketiga anaknya, dan membawa mereka keluar dari rumah.

Keadaan tempat tinggal Nurhayati yang berupa rumah panggung terbuat dari kayu, ternyata sudah agak miring. Sebagian dari rumah itu tertelan tanah. Ia dan anak-anaknya, serta ibu kandungnya, makin masuk ke dalam keadaan terkejut dan cemas. 

Lebih mengejutkan dan cemas lagi, saat ia melihat dari tanah yang terbelah di dekat rumahnya, keluar air yang memancar. Ingatan Nurhayati tertuju pada peristiwa tsunami Aceh 14 tahun lalu. Ia mulai berpikir, jangan-jangan gempa yang tengah terjadi memang bersusulan dengan tsunami.

"Mak, ayo keluar. Ini ada banjir. Ayo kita pergi ke gunung (bukit)," tutur Nurhayati menirukan teriakan kepada ibunya.

Dengan gerak cepat, mereka pun bersiap untuk lari ke arah bukit. 

"Gunung terdekat dari sini jauhnya 20 kilometer. Kami pergi ke gunung naik becak motor. Saya melihat semua orang panik. Selain kami banyak juga yang berlari ke arah gunung," lanjut Nurhayati.

Belum tiba di bukit yang dituju, gempa pun berhenti dirasakan Nurhayati. Gempa pagi itu memang hanya berlangsung sekitar 15 detik. Ia melihat banyak orang sudah berkumpul di Kantor Bupati di Manyang Lancok. Ia pun bergabung dengan mereka.

"Kalau ada banjir kami sudah berada di tengah-tengah. Kami cari aman di situ," kata Nurhayati menceritakan alasannya mengapa bergabung dengan warga di Kantor Bupati Pidie Jaya. Waktu itu sudah ribuan warga yang mengamankan diri di sana.

Pada saat yang bersamaan, Jumyati sedang mengambil air wudlu. Ia mendengar suara atap rumah seperti diketuk-ketuk. Ia mengira ketukan di atap rumah itu dilakukan binatang.

"Tetapi sesudah itu bumi seperti bergoyang-goyang. Saya pun keluar dari rumah. 'La illaahaillallah…' teriak saya sambil berlari ke masjid. Lalu ikut salat subuh," cerita wanita 52 tahun itu.

Di lokasi lainnya, Asmawati yang baru terbangun dari tidur, melihat pintu rumanya terbanting-banting berkali-kali. Ketika ia mencoba membuka pintu itu, ia tidak bisa melakukannya. 

Merasakan pusing di kepalanya, wanita 50 tahun ini, memilih merangkak. Aswawati dan dua orang anaknya, berusaha untuk secepatnya keluar dari rumah. 

Kepada saya, Asmawati mengatakan gempa tersebut adalah sebagai peringatan agar dirinya dan warga Pidie Jaya selalu ingat kepada Allah SWT. 

Bantuan pemulihan kepada mereka harus diberikan. Nurhayati, misalnya, ia berharap ada bantuan dana untuk perbaikan rumahnya yang rusak akibat gempa.

Di Pidie Jaya ada banyak orang yang nasibnya serupa dengan Nurhayati, Asmawati, dan Jumyati. Bantuan dan dukungan kepada mereka harus diwujudkan dan menjadi kepedulian kita bersama. Mengutip Ketua LPBINU M Ali Yusuf, bantuan pemulihan harus menjadikan warga Pidie Jaya tidak hanya kembali seperti keadaan semula, tetapi jika dapat, menjadikan mereka lebih baik. (Kendi Setiawan/Fathoni)

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search