Rabu, 07 Desember 2016

Kisah Jurnalis Perempuan Peliput Olahrga di Dua Negara

Dunia olahraga sering dilekatkan dengan maskulinitas, terlebih jurnalisme olahraga yang banyak didominasi pria. Jurnalis olahraga senior asal Australia dan Indonesia, yakni Tracey Holmes dan Hanna Fauzie, berbagi cerita kepada Australia Plus mengenai suka duka menjadi jurnalis olahraga perempuan dan pandangan mereka terhadap dunia olahraga.

Tracey Holmes terjun ke dunia jurnalisme sejak tahun 1989 dengan bergabung di Australian Broadcasting Corporation (ABC). Ia pernah menjadi jurnalis di China dan Timur Tengah dan merupakan pembawa acara program olahraga nasional perempuan pertama di Australia.

Jurnalis olahraga senior, Hanna Fauzie, kini menjabat sebagai redaktur pelaksana Koran Sindo. Mengawali karir di tahun 2000, Hanna sempat menjadi jurnalis balap sebelum akhirnya berpindah ke sepakbola. Ia telah meliput berbagai pagelaran akbar olahraga, mulai dari Sea Games hingga Piala Dunia.

Tracey dan Hanna, keduanya menjadi pemateri di program pelatihan jurnalis perempuan 'Women in News and Sport' (WINS) yang diadakan oleh ABC International Development di Jakarta (28/11-2/12). Kepada Nurina Savitri dari Australia Plus, mereka berbagi cerita seputar karir, tantangan menjadi jurnalis olahraga perempuan, hingga pengembangan bidang olahraga di masing-masing negara.

Tracey dan Hanna

Tracey dan Hanna bersama para jurnalis peserta pelatihan 'Women in News and Sport', yang diadakan oleh ABC.

ABC; Nurina Savitri


Kapan Tracey dan Hanna mulai menjadi jurnalis olahraga dan mengapa?
Hanna: "Spesifik menjadi jurnalis olahraga, saya mulainya awal tahun 2000, waktu itu di salah satu surat kabar Indonesia, masih kuliah juga, pegangnya waktu itu racing (balap), yaitu F1 sama Moto GP. Setelah lulus, kerja untuk koran Sindo sampai sekarang, sudah sekitar 11 tahun. Di tempat ini saya lebih spesifik untuk sepak bola. Tapi dari dulu saya memang sudah jatuh cinta pada bola karena dari SMP/SMA, nggak pernah absen nonton sepak bola terutama waktu itu Liga Italia, tapi kemudian nyaris mengikuti semua liga. Meski mengikuti olahraga lain, tapi kalau liputan saya fokus di sepak bola dan sekarang-pun saya supervisi desk olahraga."
Tracey: "Saya sudah menjadi jurnalis olahraga selama 30 tahun. Awalnya itu terjadi tanpa disengaja. Ayah-Ibu saya adalah olahragawan profesional, karena itu kehidupan saya selalu dikelilingi oleh atlet. Dan saya memang suka lingkungan olahraga, karena menurut saya, atlet, sebagian besar, sangat positif. Contohnya, kalau mereka gagal mereka akan mulai dari awal dan membangun lagi jadi itu benar-benar positif. Dan selain itu, saya suka berbicara dengan orang, suka mendengar kisah orang, motivasi mereka. Menurut saya, olahraga itu jendela dunia, banyak bicara tentang klub lokal, komunitas lokal, tim nasional, dan negara."

Apakah untuk menjadi jurnalis olahraga harus mencintai olahraga terlebih dahulu?
Hanna: "Nggak juga sih. Biasanya kalau kita memulai sesuatu dari yang kita suka, itu lebih mudah. Tapi beberapa kawan juga banyak yang memulai karir sebagai jurnalis olahraga karena ditugaskan oleh kantornya. Dalam perjalanannya, mereka belajar untuk mendalami olahraga. Jadi bisa dua-duanya."
Tracey: "Menurut saya itu perpaduan. Tak ada cara tunggal untuk memulai apapun. Beberapa orang mulai terjun karena mereka memang bermain olahraga, mereka sangat memahaminya. Beberapa di antaranya, karena mereka tak punya kemampuan dalam bidang ini tapi mereka menyukainya, dan akhirnya terjun ke jurnalisme olahraga. Tapi ada juga yang terjun karena memang tugas, jadi mereka jurnalis umum dan ditugaskan ke Olimpiade, kemudian mereka menikmatinya dan menjadi terspesialisasi. Saya pikir tak ada satu cara tunggal yang tepat."

Hanna dan Wesley Sneijder

Hanna bertemu pesepak bola asal Belanda, Wesley Sneijder, di Piala Dunia 2010.


Pengalaman liputan apa yang paling berkesan selama menjadi jurnalis olahraga?
Hanna: "Kebetulan saya merasa diri saya cukup beruntung karena diberi kesempatan oleh perusahaan tempat saya bekerja untuk beberapa kali meliput kompetisi besar di dunia olahraga. Yang paling berkesan, waktu Piala Dunia Sepakbola di Afrika Selatan (2010). Karena saat itu, yang ke final adalah dua negara yang sama-sama belum pernah juara, yaitu Belanda dan Spanyol. Dan akhirnya, Spanyol yang juara di mana dua tahun sebelumnya, mereka juga sempat menjuarai Piala Eropa. Selain itu pengalaman di sana juga menantang mengingat Afrika Selatan adalah negara yang bisa dibilang tingkat kriminalitasnya tinggi tapi syukurnya semua berjalan lancar. Di sisi lain, negara ini punya pemandangan indah. Makanya liputan ini sangat berkesan untuk saya."
Tracey: "Tak mungkin saya bisa memilih satu pengalaman paling berkesan. Ada banyak sekali, dan saya telah meliput sejumlah Olimpiade, Piala Dunia FIFA, Grand Slam Tenis, banyak sekali, hampir semua pagelaran besar. Dan tiap kompetisi itu sangat berbeda. Karena buat saya, itu bukan pagelarannya sendiri yang menentukan, tapi orang-orang di dalamnya. Orang di dalam pagelaran itu menentukan kisahnya sendiri. Dan buat saya, mengikuti kisah mereka itu luar biasa."

Bagaimana seharusnya peran jurnalis olahraga dalam pengembangan dunia olahraga sendiri?
Hanna: "Itu adalah salah satu tujuan kami, keinginan kami, rekan-rekan jurnalis olahraga. Nah dengan adanya pelatihan jurnalis olahraga perempuan seperti (WINS) ini, ini akan menjadi perekat buat kami, dan nantinya kami bisa memberikan kontribusi yang jauh lebih nyata. Dan mengajak semua stakeholder (pihak) dunia olahraga untuk sama-sama berperan membangun bidang ini. Dan terutama jangan melupakan atlet olahraga perempuan dan peran perempuan di olahraga.

Ikuti kami di

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search