Natal adalah kisah keselamatan. Tapi Natal tidak akan menjadi keselamatan tanpa kisah pengungsian. Bahkan Alkitab menegaskan dengan istilah 'larilah', flee, escape (Matius 2:13). Natal sebagai kisah kelahiran, dengan begitu adalah juga -merupakan kesatuan- dari kisah pelarian! Jika bayi Yesus bersama ibunya Maria dan ayahnya Yusuf tidak lari ke Mesir, kisah keselamatan Betlehem tidak akan berlanjut, minimal kisahnya tidak akan seperti ini.
Dr Munib Younan, pimpinan Evangelical Lutheran Church di Yordania dan Holy Land mengatakan umat Kristiani lebih hafal dengan 'Silent Night' tapi melupakan 'Flight by Night', pelarian di tengah kegelapan ke Mesir itu. Pahadal, Keluarga Kudus yang melarikan diri ke Mesir adalah bagian integral dari kisah Natal. Bahkan menjadi esensi dalam memahami kisah keselamatan Ilahi, bahwa Natal bukan sekadar soal kelahiran bayi Yesus saja.
Pengungsian Yesus ke Mesir adalah konsekuensi kisah keselamatan yang dimulai sejak peristiwa eksodus umat-Nya dari Mesir dipimpin oleh Nabi Musa. Dan keselamatan yang sama tetap harus dilakukan oleh Juruselamat yang dilahirkan sehingga bayi Yesus harus diposisikan dari Mesir, agar 'napak tilas' eksodus keselamatan itu terulang dari Mesir, sekaligus menggenapi nubuatan Nabi Hosea, dari Mesir Kupanggil AnakKu. (Hosea 11:1, Matius 2:15).
Mesir, tepatnya Matariya di pinggiran Kairo, kata Joan E. Taylor, Profesor Christian Origins dari King College London -suka atau tidak- ditakdirkan-Nya menjadi negeri yang menyelamatkan Juruselamat. Leonard Dow dari Oxford Circle Mennonite Church bahkan mengistilahkan pengungsian ke Mesir pascaperistiwa Natal sebagai the Great Migration of Jesus.
***
Fakta Natal yang cenderung dilupakan ini menggugah kesadaran baru tentang kisah pengungsi yang dilakoni Keluarga Kudus. Napak tilas ke Mesir yang kata Younan lagi bukan perjalanan dinas atau wisata, cermin dan pemihakan pada mereka yang menderita karena mengungsi hari-hari ini. Baik mengungsi secara fisik atau rohani. Khususnya para pengungsi Timur Tengah dan Afrika tetapi juga pengungsi karena bencana alam, keretakan rumah tangga, konflik sosial, kemiskinan, perang sampai penggusuran atau apapun yang menyebabkan seseorang atau masyarakat harus dan dipaksa bergerak pindah ke tempat lain. Dunia hari-hari ini adalah dunia berseri kisah pengungsi yang mengenaskan. Air mata, penderitaan dan kematian telah menjadi keseharian para pengungsi.
Kehidupan pengungsi adalah kehidupan yang bergerak, dengan begitu banyak risiko yang tak terbayangkan. Kisah pilu, jika bukan kisah perebutan antara hidup dan mati. Pengungsi Irak, Suriah, Palestina, Somalia, Sudan sampai Rohingya kini menjadi 'pemain' eksodus yang mengenaskan. Mungkin kali ini kita bukan bagian dari masyarakat pengungsi. Hidup kita menetap di negeri yang aman dan damai sejahtera. Namun, hal itu tidak bisa memungkiri empati kita yang harus terus diingatsadarkan bahwa sebagai manusia, kita memiliki satu ras yang sama yakni 'ras pengungsi'. Mungkin kita tidak berada dalam babak pengungsian saat ini namun harus selalu ingat pada kedalaman jiwa bahwa kita adalah anak-cucu dari 'trah pengungsi', Adam-Hawa manusia migran pertama harus meninggalkan Taman Eden (Firdaus).
Natal tahun ini mempunyai dasar yang sangat kuat untuk berharap dan mengupayakan segala kemungkinan kebaikan seperti kisah orang Samaria yang baik hati kepada musuhnya. Gereja dan umat Kristiani di manapun harus menjadi tangan-tangan yang menolong, membalas seperti yang dialami Keluarga Kudus di sepanjang perjalanan ke Mesir, di Mesir dan hingga kembali lagi ke Yerusalem dengan selamat. Kisah itu diperkuat dengan Abraham, Ishak dan Yakub, leluhur Keluarga Kudus yang pernah mengungsi dan migrasi ke Mesir karena bencana kelaparan. (Kejadian 12:42-46)
Lagi-lagi Mesir menyelamatkan mereka termasuk Yusuf yang dijual sebagai budak dan kemudian memperoleh kebaikan Mesir menjadi orang kedua setelah Firaun dan menyelamatkan saudara-saudara kandungnya. (Kejadian 39-41)
Tapi itu semua belum apa-apanya ketika Allah sendiri bermigrasi ke dunia berdosa dalam rupa bayi Yesus. Semua kisah pergerakkan ini tali-temali dalam tema pengungsian.
***
Natal tahun ini dengan begitu adalah 'Natalnya pengungsi'. Cermin Natal perdana yang menjadi modal untuk menolong dan menyelamatkan mereka yang menderita karena dipaksa mengungsi ke manapun dan apapun penyebabnya. Mereka yang tercerabut dari daerah asalnya, tercerai dengan keluarga, bergerak ke tempat yang tidak pasti, perjalanan yang penuh kerawanan bahkan kematian, penderitaan yang tidak terkira, dan sejuta ancaman di tempat tujuan. Pengungsi bukan problem, pengungsi adalah potret wajah manusia yang lemah segalanya, termasuk diri kita yang mungkin tidak atau belum mengungsi.
Menurut United Nations High Commissioner for Refugees, kini ada 43,3 juta pengungsi dunia. Di mana 41 persennya adalah anak-anak, Yesus kecil juga adalah pengungsi anak-anak! Dan 26% pengungsi dunia adalah dari dan ke Afrika, dan Yesus pengungsi ke dan dari Afrika pula (Mesir di Afrika Utara). Saatnya Natal kali ini membuka kisah pengungsian Yesus ke Mesir bahwa Mesir dan Afrika ikut berjasa terhadap kisah keselamatan Betlehem.
Apa artinya? Keselamatan yang dibawa Yesus memang lahir di Betlehem secara eksklusif, tapi Allah ingin agar eksklusivitas Betlehem itu juga disambut dengan rendah hati. Keselamatan Betlehem diinklusivkan oleh kisah pengungsian ke Matariya Mesir, negeri tetangganya. Ini artinya bahwa keselamatan Natal memang menjadi hak milik umat Kristiani yang percaya tetapi mesti disambut dengan sikap inklusif dikembalikan menjadi sikap empati dan peduli, mengasihi untuk menyelamatkan mereka yang hari-hari ini mengungsi. Katakanlah sebagai 'balasan atas kebaikan Mesir'. Balasan kepada mereka yang berbeda, yang liyan, the others tanpa pandang bulu.
Hari-hari ini kisah pengungsi di Aleppo Suriah bisa jadi mirip gelombang pengungsi keluar dari Betlehem pada Natal perdana. Betlehem dirundung massacre of the innocents atau infanticide di mana bayi laki-laki usia dua tahun ke bawah dibunuh massal oleh pasukan Herodes. Kisah pengungsi Aleppo sebagai salah satu tragedi pengungsi terkini juga mengalami hal yang sama. Pembunuhan masyarakat sipil tak berdosa baik sengaja atau tidak, dalam kancah perang sungguh keji, melukai kemanusiaan dan bahkan mestinya 'membatalkan' perayaan Natal. Natal secara kemeriahan sekuler harus batal demi empati kita kepada penderitaan pengungsi Allepo, berkaca pada pengungsian Keluarga Kudus dua ribu tahun lalu di Natal perdana. 'Malam Kudus sunyi senyap' dengan kerlip lampu dan pohon Natal, harus dilupakan karena yang ada pengungsian di malam kelam mencekam dan penuh ancaman, derita, sakit dan kematian.
Natal dengan begitu bukan hanya kisah lahir tapi juga perjuangan mengungsi. Alkitab mencatat paling tidak 120 bagian yang mendorong umat Kristiani untuk menerima dan menyambut dengan pertolongan mereka yang mengungsi, yang asing, musafir, imigran yang dipaksa lari oleh keadaan apapun dari negeri asalnya, dicerabut dengan kesakitan dan bahkan kematian. Ke sanalah kado-kado Natal mestinya dirayakan dalam rupa harapan, keselamatan, kebaikan jasmani dan rohani yang mengalir tanpa henti. Bak kekayaan emas, kemenyan dan mur yang didapatkan Keluarga Kudus dari orang-orang Majusi dari Timur untuk bekal mengungsi ke Mesir. Gereja dan umat Kristiani harus meneladaninya, memberikan sumber daya yang terbaik apapun itu, untuk menolong mereka yang mengungsi pada hari Natal menjelang. Selamat Natal 2016.
Stevanus Subagijo, Peneliti pada Center for National Urgency Studies Jakarta
Stevanus Subagyo/GOR
Investor Daily
Tidak ada komentar:
Posting Komentar