Kamis, 15 Desember 2016

Sepenggal Kisah Aminah, 55 Tahun Setia Membuat Tenun Ikat Ende Demi Menghidupi 6 Anaknya

Aminah (67), seorang ibu yang setia menenun kain ikat Ende ditengah gempuran modern

Indonesia memiliki keanekaragaman dan kekayaan budaya yang luar biasa banyaknya. Sayangnya, masih belum semuanya dikenal baik oleh masyarakatnya sendiri.

Nun di bagian timur Indonesia, salah satu daerah yang memiliki potensi budaya mengagumkan adalah Kabupaten Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Daerah ini terkenal dengan kain tenun ikat Ende yang merupakan warisan tradisi dari leluhur masyarakat Ende.

Karena keindahannya kain tenun ikat Ende banyak disukai orang. Tak hanya masyarakat Indonesia, turis asing pun bahkan amat mengaguminya. Namun, dibalik keindahannya itu ternyata proses pembuatannya tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Semua dikerjakan secara manual. Nyaris tanpa mesin yang canggih. Tak heran, semakin sulit teknik pengerjaannya maka semakin mahal pula harga selembar kain tenun ikat Ende tersebut. 

Baca: Mengunjungi Kampung Batik Kebumen, Motif Klasiknya Tak Lekang Dimakan Zaman

Salah satu penenun yang masih melestarikan teknik manual tersebut adalah Aminah, perempuan asli Ende, Nusa Tenggara Timur. Ketika ditemui di Museum Tekstil Jakarta, Aminah menceritakan kisahnya sebagai seorang penenun kain yang telah dijalaninya selama 55 tahun terakhir.

Dan kegigihannya menenun sehelai kain demi kain itulah ia mampu membiayai keluarganya selama ini. Sembari berbincang dengan TabloidNova.com, tangan Aminah tampak begitu telaten memilah helai benang demi benang untuk membuat satu kain tenun ikat Ende bermotif khusus untuk perempuan. 

Baca: Kisah Sukses Perajin Tenun Troso

"Saya sudah 40 tahun lebih tinggal di desa. Sebelumnya saya tinggal lebih jauh lagi di pelosok, dari Ende berjarak 80 kilometer. Saya jadi penenun sejak umur 12 tahun," ujar Aminah saat didatangkan dalam acara 'Menggali Pesona di Balik Kain Tenun Ende dan Menjaga Kelestarian Budaya Melalui Revitalisasi Museum Tenun Ikat', Rabu (14/12) petang.

Warisan budaya ini tentu saja didapat Aminah dan keluarganya secara turun-temurun. "Mama saya dari kecil sudah ajarkan tenun bikin nilam semua kita tahu," kata perempuan berusia 67 tahun ini dengan logat yang kental.

Baca: Melestarikan Keindahan Motif Tenun Ende Asal NTT yang Memesona

Untuk membuat sehelai kain tenun ikat Ende, Aminah memerlukan waktu sekitar 2-3 bulan lamanya. Hal itu dimulai dari proses membuat benang gulung, pewarnaan hingga menenun. Hanya itulah pekerjaan Aminah sehari-harinya, namun ia bersyukur dari hasil menenunnya itu bisa menghidupi ke-6 anaknya di rumah.

"Suami saya sudah lama meninggal tahun 2001, sudah 15 tahun. Jadi, bisa jual 2-3 kain dalam dua bulan, ya, hanya untuk makan anak-anak saja."

Dikerjakan dengan dedikasi waktu, ketelitian, dan segenap hati, membuat sehelai kain tenun ikat Ende menjadi begitu bermakna bagi mereka yang mengetahui proses pembuatannya.

Lantas berapa Aminah menjual kain tersebut pada mereka yang tertarik membelinya? "Kalau tenun yang biasa saja bisa 500 ribu, tapi kalau yang bagus bisa 1 juta lebih harganya," jelas nenek dari 10 orang cucu ini.

Menurutnya, untuk belajar menenun memang perlu waktu yang cukup lama dan harus amat sabar. "Tidak bisa cepat atau dalam keadaan terpaksa. Setidaknya belajar dasar menenun bisa memakan waktu setahun lebih."

Baca: Trik Melilit dan Mengikat Kain Tanpa Jahit

Namun, yang dirasakan kini, bagi sebagian orang kain tenun ikat Ende kehilangan momentum untuk berkembang. Sebab kain tenun ikat Ende kerap dianggap hanya menjadi komoditas saja.

Padahal makna dibalik kain tenun ikat Ende sangatlah beragam yang seharusnya menjadi khazanah dan kekayaan kebudayaan nasional yang multikultural.

Hilangnya kesadaran, orentasi dan makna terhadap budaya dan tradisi membuat kain tenun ikat Ende kurang dilketahui oleh masyarakat Indonesia, terutama generasi mudanya. Terutama di tengah gencarnya budaya-budaya modern yang adoptif.

Rupanya, di tengah gempuran globalisasi Itulah salah satu faktor yang membuat anak-anak zaman sekarang kurang tertarik membuat tenun ikat Ende yang penuh makna. 

"Anak-anak sekarang kalau pulang sekolah, tidur, dan tidak bisa dipaksa, kalau kita paksa sudah tidak benar. Mereka ada juga pulang sekolah ikut jual makanan dan minuman sama mama, atau jaga punya adik, setrika dan nyuci," ujar Aminah yang menerima semua kondisi tersebut dengan senyuman.

Kurangnya kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap kain tenun ikat Ende pun memiliki dampak terhadap kondisi penghidupan para perajin. Saat ini terdapat 50 perajin yang dibina oleh Museum Tenun Ende, dimana kondisi mereka masih memerlukan bantuan dalam hal pemberdayaan.

Tentu saja, Aminah berharap sebagai salah satu dari mereka, ia mampu mendapatkan kehidupan yang semakin membaik dari kain yang ia tenun selama ini, meski dalam kondisi yang tak lagi sama seperti ketika dirinya mulai menenun di masa remaja dulu.

Yuni Arta Sinambela/Tabloid NOVA

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search