Jumat, 20 Januari 2017

Peluncuran Buku Bonbin dalam Kisah dan Tjerita

ACARA pemberian kado 100 tahun KBS dilakukan secara sederhana di Mustafa Center Royal Plaza, Surabaya pada Kamis (19/1). Terpampang 60 foto KBS, mulai zaman H.F.K. Kommer –perintis berdirinya KBS– hingga KBS masa kini. Foto-foto itu menjadi tontonan pengunjung mal. Namun, kado terbesar yang dipersembahkan tentu bukan foto-foto tersebut. Melainkan sebuah buku tentang perjalanan KBS.

Henri Nur Cahyo merintis penulisan buku tersebut pada 2014. Dia menggandeng penulis muda Dhahana Adi Pungkas alias Ipung untuk merampungkan bukunya. Henri berniat memberikannya tepat saat KBS berulang tahun ke-100. Namun, keinginan itu tidak bisa terpenuhi tepat waktu meski penyusunan buku selesai pada tahun lalu. Seharusnya, pemberian kado dilakukan pada November 2016. "Ada beberapa kendala. Salah satunya dana," ujarnya.

Acara akhirnya bisa terlaksana setelah ada donatur. Selain itu, Henri mendapat banyak dukungan moral dan material dari sejumlah komunitas. Buku setebal 249 halaman tersebut akhirnya dicetak sebanyak 500 eksemplar. Sebanyak 420 dibagikan secara gratis di taman bacaan. Kini tersisa 80 buku saja. Sisa buku itu dijual dengan harga Rp 90 ribu.

Materi buku diperoleh dengan cara mewawancarai para pensiunan pegawai KBS. Henri sama sekali tidak mewawancarai manajemen KBS yang pada 2016 masih dipimpin Aschta Nita Boestani Tajudin. Dia menilai, direksi saat itu takut ditanya-tanya. Sebab, selama ini KBS terkesan sarat masalah. "Padahal, saya ingin KBS dikenang karena kebaikannya, bukan konfliknya," ujar pria kelahiran Lamongan, 22 Januari 1959, tersebut.

Meski begitu, dia tidak patah semangat. Buku ke-36-nya itu dia kerjakan sedikit demi sedikit. Dia merasa berdosa jika tidak meneruskan buku tersebut. Sebab, momen 100 tahun dia anggap sangat monumental. Tidak bisa diulang. "Sebagai warga Surabaya, saya merasa berdosa kalau tidak memberikan apa-apa untuk KBS," jelas pria yang pernah menempuh pendidikan kedokteran hewan di Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta itu.

Di dalam buku bersampul krem itu terdapat 36 artikel. Namun, yang paling dia suka adalah artikel ke-15. Judulnya Kingkong Itu Bernama Makua. Artikel tersebut mengisahkan saat KBS kedatangan seekor gorila bernama Makua. Primata itu merupakan pemberian Kebun Binatang Rotterdam, Belanda.

Kemunculan gorila pada 1978 tersebut menggemparkan Surabaya. Sebab, keberadaannya berbarengan dengan film Kingkong. "Saya masih ingat, saat itu masih SMA. Orang-orang ke KBS semua, lihat film Kingkong," sebutnya.

Salah satu orang yang dia wawancarai adalah Bambang Suhardjito. Bambang hadir dalam acara peluncuran buku itu. Bambang bertugas mengawal Makua dari Jakarta ke Surabaya. Gorila tersebut harus dielus-elus dalam kandang agar tidak memberontak di dalam pesawat. "Kalau sampai berontak di pesawat, bagaimana? Jadi kayak di film-film," kenang Bambang yang mengabdi di KBS selama 40 tahun. Dhahana Adi Pungkas juga merasa gembira. Dia berharap buku tersebut bisa memicu masyarakat untuk semakin mencintai KBS. (*/c6/oni/sep/JPG)

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search