TAMAN Surabaya telah menjadi magnet wisata baru di kota ini. Meski pembangunannya belum selesai total, taman tersebut selalu ramai, terutama saat weekend. Di taman itu pula, Sujono kerap menerbangkan layang-layang hasil kreasinya. Dari kejauhan, tampak layang-layang itu berlenggak-lenggok saat diterpa angin. Sujono memang sengaja membuat atraksi. Dia menerbangkan tiga layang-layang sekaligus. Bentuknya menarik. Menyerupai burung dan dibuat serangkai seperti sate.
Tak jauh dari tempat Sujono menerbangkan layang-layang, terlihat dagangannya diikat pada pohon di pinggir taman. Hari itu dia membawa dua lusin layang-layang. Bentuknya beragam. Ada burung, kelelawar, hingga orang berpakaian baju adat Madura. Sebetulnya Jon, panggilan akrabnya, sudah tahu bahwa lokasi tersebut bukan tempat berjualan. Namun, dia mengaku siap kapan pun diobrak. ''Saya pengen meramaikan taman, anginnya juga bagus buat naikin layangan," ujarnya sambil terus meninggikan layang-layang itu.
Atraksi layang-layang tersebut berbuah hasil. Banyak anak yang tertarik membeli dagangan Jon. Langsung saja mereka berlomba-lomba menerbangkannya. Langit di atas Taman Surabaya pun kian semarak. Setelah berhasil menarik pelanggan, Jon menyudahi atraksinya.
Jon sudah 17 tahun menjadi perajin layang-layang. Semula pria kelahiran 1957 itu adalah kuli bangunan. Maklum, dia hanya mengenyam pendidikan sampai kelas V SD. Ide membuat layang-layang berawal dari kebiasaannya membantu sang ibu menjahit dan membuat pola baju. Aktivitas itu membuat kreativitasnya terasah.
Jon akhirnya membuka jasa jahit di kampungnya, Kejawan Lor. Kala itu dia masih berusia 27 tahun. Namun, usahanya tidak seberapa laku. Jon kemudian banting setir dengan membuka usaha salon. Padahal, Jon sebenarnya tidak punya keahlian memotong rambut. Namun, pria berdarah Madura itu mampu belajar dengan cepat. Dia pun sanggup mempertahankan usaha potong rambut sampai tiga tahun.
Sebetulnya usaha tersebut lumayan sukses. Namun, kala itu dia tergiur ikut merantau dengan tetangganya ke Bali. Berbekal kreativitas yang diwarisinya dari sang ibu, Jon menjadi tukang tato. Lebih tepatnya, tukang tato di pinggir pantai.
Saat itu Jon hanya berbekal bakat menggambar. Alat tato dibuatnya sendiri. Dia memanfaatkan dinamo mobil yang dirangkai dengan jarum suntik dan diikat menggunakan lakban. Sangat sederhana. Namun, alat tersebut justru laku keras jika dibandingkan dengan jasa tatonya. ''Alatnya laku Rp 70 ribu, padahal bikinnya cuma butuh Rp 4 ribu," ujarnya. Selama di Bali, Jon akhirnya mahir berbahasa Inggris. Maklum, mayoritas pelanggannya adalah turis asing. Dia bahkan sering menerima bayaran dalam mata uang dolar dan pound sterling.
Meski sukses sebagai tukang tato jalanan, Jon justru tertarik pada layang-layang. Apalagi, di pantai banyak layang-layang dengan bentuk menarik. Jon pun mempelajari layang-layang hias. Dia lalu mencoba untuk membuatnya. Pekerjaan itu akhirnya dia tekuni dengan serius. Selama lima tahun Jon berjualan layang-layang di Bali. Jon semakin fasih berbahasa Inggris. Namun, sang istri yang diajaknya merantau ingin kembali ke Surabaya. Jon tidak bisa menolak. Dia akhirnya kembali ke Surabaya pada 2005. Dia memutuskan untuk tetap memproduksi layang-layang hias.
Berbeda dengan di Bali, tak mudah menjual layang-layang hias di Surabaya. Untuk memasarkan produknya, Jon sering membuat atraksi di taman hingga hotel. Tujuannya, menarik minat turis. Hal itu pernah berhasil. Turis asal Filipina tertarik pada layang-layang model burung elang. Langsung saja dia memesan 200 layang-layang untuk dibawa pulang ke negaranya.
Selain diminati turis, layangan Jon sampai di Timika. Itu berawal ketika Jon bertemu dengan seorang pria asal Timika bernama Romli. Pertemuan tersebut berbuah kerja sama bisnis. Romli rajin memesan layangan Jon untuk dibawa ke Timika. Pesanan terakhir mencapai 350 lembar layang-layang.
Jon juga berkali-kali mengikuti kompetisi. Setiap ada festival layang-layang di kawasan Surabaya Utara, Jon pasti ikut. Dia menciptakan layang-layang khas Madura. Dia menamainya layangan Bangkalan. Layangan tersebut punya dasar segi tiga. Lantas, disusun dengan dua bentuk oval mendatar yang ditumpuk. Bagian kanan-kirinya diberi lekukan agar layangan mampu bergoyang di udara. Dia menambahkan rotan di ujung agar mengeluarkan bunyi saat diterpa angin. Layangan itu pernah membuat Jon menang empat kali. (*/c7/oni/sep/JPG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar