Selasa, 21 Februari 2017

Menguak Kisah Pedalang Perempuan Penderita Demensia

Judul : Kalamata

Penulis : Ni Made Purnama Sari

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia 

Cetakan : I, Oktober 2016

Tebal : xvi + 226 halaman

ISBN : 978-602-424-181-0

Prosa berlatar belakang Tragedi 1965 di Bali, Kalamata, ini mencoba menghadirkan dampak masa kelam. Sebuah kisah tentang luluh lantaknya kehidupan tokoh figuratif Ni Rumyig. Pembaca diajak mengikuti kisahnya, masa lalunya terhadap kehidupan seorang yang terpasung dalam ingatan traumatisnya.

Dikisahkan, tokoh Aku adalah seorang penulis perempuan berusia 25 tahun yang diminta menulis biografi hidup Ni Rumyig. Ini pekerjaan ganjil ketika mesti menulis perempuan yang menyandang demensia. Ni Rumyig tak mengingat apa pun tentang dirinya, termasuk masa lalu, kenangan terindah hingga orang sekitar (hal16). Demensia adalah sindrom neuro-degeneratif. Seorang yang mengalami demensia akan kesulitan membedakan antara masa kini dan masa lalu. Seperti Alzheimer, mereka menderita kerancuan antara kenyataan dan rekaan.

Pembaca diantar memahami penderita demensia berusia 63 ini. Ia cenderung tidak mau berbicara dengan siapa pun, melukai diri, cemas, dan dicekam ketakutan. Hidupnya tak terlepas dari obat-obatan yang sebenarnya tak cukup berguna.

Masa lalu bagi Ni Rumyig ibarat karat yang meruntuhkan diri dan batin perlahan-lahan. Dalam demensianya, dia menjadi seseorang yang menyisih dari kehidupan sekarang, menyimpan rahasia di tepian ingatannya. Bila ditanya dirinya, kisah masa lalu, kenangan dan ingatan, dia hanya seperti pintu rapat terkunci. Dia tidak pernah tahu waktu pintu akan terbuka kembali (hal 49).

Selapis demi selapis masa lalu Ni Rumyig mulai tersibak. Ia adalah dalang perempuan mumpuni dan tersohor pada tahun 1980-an. Sebagai perempuan, dia mengelola seluruh anggota dalang yang mayoritas laki-laki. Ia tampil di berbagai acara pertunjukan penting, membawakan lakon-lakon pewayangan di Istana Tampaksiring, Bali. Padahal, saat itu tidak banyak perempuan berprofesi menjadi dalang.

Di titik itulah novel ini menjelaskan sebuah adat di Bali, perempuan tidak diharapkan hadir dalam pagelaran wayang sampai larut, apalagi menjadi dalangnya seperti Ni Rumyig. Masyarakat Bali menganggap perempuan seperti itu anak luh dadi seluk –boleh dijamah lelaki mana saja.

Konflik hidup Ni Rumyig meruncing ketika disebut sebagai Panak cicing barak –Anak anjing merah (hal 92). Tudingan warga tertuju pada keterkaitan Ni Rumyig dengan tragedi 1965. Itu membuat kekaguman dan pujian yang selama ini diterima Ni Rumyig berubah jadi prasangka dan curiga. Ayahnya dituduh memiliki hubungan dengan Partai Komunis Indonesia tahun 1960-an. Ada juga desas-desus Ni Rumyig sebagai perempuan jalang yang terbiasa tidur dengan banyak lelaki.

Kalamata menyiratkan bahwa peristiwa 1965 telah mewariskan berbagai prasangka stereotip dan kebencian yang telah menaburkan penderitaan psikologis mendalam. Dalam kehidupan nyata banyak Ni Rumyig lain yang mengalami tragedi kemanusiaan dan kehilangan seluruh keluarga. Mereka terasingkan dari masyarakat, kenangan, dan dirinya sendiri. Mereka menjalani hidup dengan memikul trauma sampai mati. 

Diresensi Muhammad Khambali, Alumnus Universitas Negeri Jakarta

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search