Hal itu diceritakan hakim agung 1980-1997, Adi Andojo dalam buku "Menjadi Hakim yang Agung". Buku itu diluncurkan dua pekan lalu dengan dihadiri Ketua MA Hatta Ali, hakim agung Andi Samsan Nganro dan cendekiawan muslim Komarudin Hidayat.
Adi menceritakan saat ia memutus perkara penyelundupan rotan di tingkat kasasi atas nama terdakwa Tony Guritman. Awalnya Tony divonis bebas oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Jaksa kasasi dan dikabulkan pada 21 Februari 1990.
"Tony dijatuhi hukum 3 tahun penjara dan denda Rp 10 juta," kata Adi dalam halaman 167 sebagaimana dikutip detikcom, Minggu (19/3/2017).
Kasus pemalsuan putusan ini terungkap secara kebetulan ketika Adi berkunjung ke Surabaya pada 28 November 1990. Pada waktu itu, Adi menjadi pembicara seminar yang diikuti jaksa. Dalam seminar itu, Adi mencontohkan kasus Tony yang dihukum penjara di tingkat kasasi karena sudah ada niat dari Tony dalam tindak pidana penyelundupan itu.
Saat pulang ke bandara, Adi diantar beberapa jaksa. Dalam kesempatan itu, beberapa jaksa menanyakan pernyataannya di seminar dan fakta di lapangan. Faktanya, Tony telah dibebaskan lewat surat keputusan MA. Informasi itu tentu membuat Adi terkaget-kaget. Bagaimana mungkin Tony bisa bebas karena dia sendiri yang telah memutuskan Tony bersalah.
Dari bandara, Adi langsung menelepon staf di MA di Jakarta agar jangan pulang dulu sebab Adi ingin mampir ke kantor MA setelah tiba di Jakarta untuk memeriksa berkas yang berkaitan dengan Tony.
"Setelah memeriksa berkas, saya menemukan keputusan yang dibuat berbeda dengan surat yang dikirim ke PT Surabaya," tutur Adi yang juga menjadi Ketua Muda MA bidang Pidana periode 1981-1997 itu.
Mengetahui itu, Adi langsung melaporkan kepada Ketua MA Ali Said.
"Pak Ali bilang 'wis terus no/ya teruskan'," ujar Adi.
Pemeriksaan internal menemukan putusan Nomor 1805 K/Pid/1989 itu ternyata dipalsukan pejabat Direktorat Pidana, M Naseer dan dua karyawan lainnya. Kasus pemalsuan putusan itu juga menyeret pengacara Tony, Harjono Tjitrosoebono. Siapakah Harjono? Ia ternyata teman satu asrama Adi saat kuliah di FH UI 1952-1958.
Meski mengaku tidak menerima uang sepeser pun dari Harjono, Adi malah meminta sahabatnya jangan dihukum. Dia menyadari tindakannya itu salah.
"Kepada penyidik saya pesan agar Pak Harjono jangan diutak-atik. Teman seasrama saya di Pegangsaan timur. Pak Harjono kan sudah tua. Saya kasihan. Ini kelemahan saya," aku Adi di halaman 168.
Pada 2012, kasus serupa terulang. Saat itu malah dilakukan oleh hakim agung Ahmad Yamani. Ia memalsukan putusan gembong narkoba Hengky Gunawan, dari 15 tahun penjara menjadi 12 tahun penjara. Setelah ketahuan, Yamani dipecat dan menjadi hakim agung pertama yang dipecat karena pelanggaran etik.
Baca Juga:
Ahmad Yamani, Hakim Agung Pertama di Indonesia yang Dipecat
(asp/dnu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar