DI tengah berkecamuknya Perang Teluk (Agustus 1990-Februari 1991), terkenang pengalaman 'gereget' seorang tenaga kerja Indonesia (TKI) H Rusmin Basuki. Kala itu, Rusmin bersama beberapa rekannya sempat "terjebak" selama 11 bulan di perbatasan Arab Saudi-Kuwait, negara yang diinvasi Irak dalam perang itu.
Dengan motif politik dan ekonomi, Irak yang tengah kuat-kuatnya menyerbu Kuwait yang militernya tergolong lemah. Namun titik balik perang tak lama berselang lantaran Kuwait buru-buru dibantu Saudi, Amerika Serikat (AS), Inggris dan Prancis.
BERITA REKOMENDASI
Kebetulan di musim dingin awal tahun 1991 itu, Rusmin dan rekan-rekannya sesama TKI sebagai sopir bus, mendapat "order-an" dari perusahaan induknyal SAPTCO (Saudi Public Transport Company). Mereka dikontrak untuk mengangkut pasukan AS dari Saudi ke Dhahran dan Dammam, dua kota pelabuhan di Teluk Persia.
"Kita (sopir asal Indonesia) yang diminta mengangkut rombongan dengan bus, karena sopir-sopir bus orang Arab, justru benci Amerika. Mereka anggap orang Amerika itu kafir," tutur Rusmin kepada Okezone saat ditemui di kediamannya di Cilincing, Jakarta Utara.
Pria berusia 66 tahun itu banyak berkisah tentang suka dukanya jadi sopir bus yang mengangkut tentara AS itu dari markas ke markas antara Dhahran dan Dammam. Serta berbagai pengalaman tentang malam-malam yang dingin, serta kerap diteror rudal-rudal scud yang ditembakkan dari posisi pasukan Irak.
"Kalau malam-malam lagi istirahat, kita cuma bisa berdoa mudah-mudahan enggak ada rudal yang nyasar ke tempat kami," imbuh pria yang sempat berkarier di Kepolisian Air dan Udara (Polairud) sebelum jadi TKI itu.
"Saat malam waktu itu musim dingin, wah dinginnya minta ampun walau enggak ada salju juga. Kita sampai pakai baju rangkap tiga, ditambah jaket dan kantong-kantong mayat dari tentara Amerika buat dijadikan selimut," sambung Rusmin.
Terkait interaksi, Rusmin mengaku bisa akrab dengan banyak kombatan Negeri Paman Sam, lantaran memang orangnya ramah-ramah. Bahkan ada satu di antara mereka yang bisa berbahasa Indonesia dan bisa kian akrab hanya karena nasi dan telur ceplok goreng.
"Awalnya interaksi sama tentara Amerika pakai bahasa isyarat. Tapi sedikit demi sedikit mengerti bahasa Inggris. Mereka ramah-ramah dan selalu menanyakan, kita (sopir-sopir WNI) ada kurang kebutuhan apa? Tapi kalau tentara Inggris mah, angkuh-angkuh. Enggak mau ngomong sama orang asing," tambahnya.
Soal makanan, memang mereka tak pernah kekurangan. Malah sering ikut dibagi-bagikan ransum tentara AS. Tapi yang namanya orang Indonesia, tetap terasa bosan dan pastinya enggak 'nampol' kalau belum ketemu yang namanya nasi. Karena ini pula Rusmin bertemu tentara AS yang cukup fasih berbahasa Indonesia.
"Makanan ransum perang Amerika lama-lama bosan juga rasanya, kangen sama nasi dan goreng telur. Kita coba beli di toko di luar markas bahan-bahannya, kayak beras, minyak. Harus dikawal tentara Amerika kalau keluar markas," ungkap Rusmin lagi.
"Dibikin deh tuh, kita masak di samping bus karena kebetulan ada teman juga yang bawa panci dan kompor. Ada juga itu tentara Amerika yang ternyata asalnya dari Filipina, ikut makan bareng sama kita. Dia bilang juga bosan dengan ransum yang itu-itu aja. Dia bisa lumayan bahasa Indonesia karena pernah tinggal di Bogor," cetusnya.
Dan tak lupa, kadang waktu hendak menyantap mereka dengan nasi dan telur ceplok yang sudah sangat dikenal lidah, tak jarang makanan mereka terkena pasir-pasir yang berterbangan.
"Waktu mau makan nasi pakai goreng telur sama cabai, eh tahu-tahu pasir berterbangan masuk ke dalam nasi sama telurnya. Yah, terpaksa (tetap dimakan) dari pada makan roti terus. Itu biasanya gara-gara helikopter yang mendarat di landasan dekat tempat kita," tuntasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar