
Bagi Anda yang tidak tinggal di dalam gua, kisah ini adalah salah satu kisah paling familiar yang pernah ada. Generasi demi generasi pasti sudah menyaksikan keagungan animasi Disney berjudul 'Beauty and the Beast' yang fenomenal itu. Film animasi itu begitu digdaya: mendapatkan Piala Film Terbaik Kategori Komedi atau Musikal pada Golden Globe, dan menjadi film animasi pertama yang dinominasikan Film Terbaik di Oscar pada 1992.
'Beauty and the Beast' tidak hanya ikonik. Film ini bersejarah. Seluruh lagunya menjadi lagu karaoke. Sosok Belle menjadi idola. Semua anak perempuan ingin menjadi Belle dan menikah dengan The Beast. Dan, animasinya yang spektakuler menjadi standar paten pada saat itu.
Disney yang akhir-akhir ini tersadar bahwa mereka memiliki harta karun tak ternilai dengan koleksi film-film klasik mereka, akhirnya menginjak pedal gas untuk proyek ini. Dimulai dengan 'Alice in Wonderland', diikuti dengan 'Maleficent', 'Cinderella', dan tahun lalu 'The Jungle Book', Disney meyakinkan penonton bahwa meramu ulang kisah lama mereka dengan polesan efek visual yang mahal serta aktor-aktor beken akan mengembalikan mereka pada pundi-pundi dollar yang melimpah.
'Beauty and the Beast' tahun 2017 ini tidak memberikan hal yang berbeda dengan versi animasi tahun 1991. Plotnya bisa disebut "copy paste" dari versi originalnya. Penulis skripnya, Stephen Chbosky dan Evan Spiliotopoulos, seakan takut merusak versi aslinya sehingga mereka tidak mengubah resep paten film originalnya. Kita diberikan tambahan kisah latar serta Belle yang lebih kuat (agar lebih sesuai dengan kondisi dan aspirasi generasi millenial) dan Beast yang lebih melek buku (dengan alasan yang sama). Tapi selebihnya, tidak ada yang berubah. Bahkan gubahan lagu-lagunya pun masih tetap sama.
Bill Condon, sang sutradara, sesungguhnya memang menjalankan tugas yang cukup berat. Film animasinya begitu fenomenal. Dan, dalam banyak hal Condon jelas berhasil. Emma Watson dan Dan Stevens memiliki chemistry yang luar biasa. Mereka mampu membuat penonton gemas sendiri. Visualnya canggih. CGI-nya benar-benar mengguncang—sesuatu yang hanya didapat dengan bujet 160 juta dollar. Desain lokasi dan kostumnya memukau.
Tapi, sebagai adaptasi live action, 'Beauty and the Beast' belum bisa menyamai level 'The Jungle Book' yang dirilis tahun lalu. 'The Jungle Book' berhasil menjadi adaptasi live action yang dominan karena pembuatnya tidak hanya menangkap cerita filmnya, namun juga roh film tersebut. Sebaliknya dengan 'Beauty and the Beast'; film ini memang nampak indah dan mentereng, namun beberapa magisnya terasa memudar. Tidak semempesona film aslinya.
Tidak ada salahnya memang setia dengan resep lama. Tapi, paling tidak pertahankan juga magis film aslinya. Sehingga apapun perubahan yang terjadi, penonton tetap merasakan keindahannya.
'Beauty and the Beast' memang belum bisa dibandingkan dengan film aslinya. Meskipun, film ini juga tidak lantas ambruk ke level 'Alice Through The Looking Glass' yang benar-benar membosankan itu. Film ini masih asyik untuk ditonton sekeluarga. Terutama bagi mereka yang belum pernah menonton versi aslinya.
Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.
(mmu/mmu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar