
Kini, janji yang dulu pernah mereka jalin mengantarkan keduanya kembali ke sebuah stasiun kota. Zaman sudah berubah menjadi millenial, analog berubah menjadi digital, sepeda ontel menjelma menjadi motor, kaset pita sudah lama ditinggalkan peminatnya. Namun, masa remaja tak pernah mengenal kata musnah, begitu pula dengan kelanjutan kisah Galih dan Ratna.
Pernah berhasil menangkap sisi lain kehidupan dan kemewahan artifisial orang-orang Jakarta dalam semalam lewat film 'Selamat Pagi, Malam' (2014), sutradara Lucky Kuswandi kembali dengan karya barunya 'Galih dan Ratna'. Sebuah film daur ulang dari adaptasi novel legendaris milik Eddy D Iskandar berjudul 'Gita Cinta dari SMA' (Arizal, 1979). Kali ini 'Galih dan Ratna' berlokasi di kota hujan Bogor, masih menawarkan kesederhanaan yang sama seperti film terdahulunya, seputar kisah cinta masa remaja lengkap dengan ilustrasi musik indah yang mengiringinya, dan dibumbui konflik tentang mimpi dan cita-cita. Semua elemen cerita diolah ulang menjadi lebih segar dan ngepop sesuai dengan isu era millenial masa kini, membuat 'Galih dan Ratna' tak terlihat begitu kolot dan konvensional, tapi tetap bisa ditonton mewakili semua generasi.
Dalam versi barunya ini, Galih (Refal Hady) diceritakan sebagai siswa SMA pintar yang hidup dalam bayang-bayang kenangan bapaknya yang sudah meninggal. Sebagai anak sulung, masa remaja Galih kebanyakan dihabiskan untuk selalu bekerja keras, selain tentunya ia harus mempertahankan nilainya agar selalu di atas rata-rata untuk dapat beasiswa. Sepulang sekolah Galih membantu ibunya (Ayu Dyah Pasha) sebagai orangtua tunggal di rumah, menjaga toko kaset 'Nada Musik' warisan bapaknya yang akan dijual karena sepi peminat, dan sesekali juga mengajari adiknya menghafalkan nama-nama nabi di waktu luang.
Di belakang sekolah, saat Galih sedang menyendiri dengan buku dan walkman antik merk National, ia bertemu dengan Ratna (Sheryl Sheinafia) siswi baru pindahan dari Jakarta. Pertemuan pertama mereka seperti layaknya takdir Tuhan yang asyik dan alami. Dimulai ketika mereka membicarakan tentang musik-musik lama yang sering Ratna dengarkan bersama ibunya dulu, seperti lagu 'Sakura' milik Fariz RM, atau membahas soal lirik lagu sedih yang tak sesuai dengan iramanya, hingga akhirnya mereka seperti dua anak senasib yang sama-sama kehilangan orang yang dicintai.
Ratna digambarkan sebagai sosok gadis kesepian yang sedang mencari jati diri. Ibunya dari kecil sudah meninggalkannya, kini ia dititipkan pada tantenya (Marissa Anita), karena bapaknya (Hengky Tornado) bertugas di luar negeri. Melalui Galih, Ratna pelan-pelan mulai mengenali bakatnya sebagai penyanyi dan penulis lagu. Melalui Ratna, Galih juga berhasil membuat toko kaset nada musik milik almarhum bapaknya diminati lagi, bukan seperti monumen kenangan yang sering dikatakan oleh ibunya dengan sinis. Kisah Galih dan Ratna dimaknai kembali sebagai proses pendewasaan, tanpa kehilangan sisi keluguannya; pertautan dua hati remaja yang dengan polos mengisi satu sama lain. Cinta remaja yang mengantarkan kepada mimpi dan keyakinan hidup.
Tak mudah untuk menggabungkan dua tema berbeda yang menyatu padu dengan baik, antara masa lalu dan masa kini, antara dunia "analog" dan "digital", memberi makna baru pada sebuah film drama cinta remaja yang sudah diketahui akhirnya. Namun, Lucky Kuswandi berhasil membawa semua temanya dengan sangat baik. Lucky adalah sutradara yang romantis dan sensitif, menghanyutkan penonton dalam emosi kisah cinta manis masa remaja, dengan suasana lingkungan SMA yang hidup, dengan keberagaman karakter-karakternya, dengan musik yang ikut menyertainya, semangat idealisme dan cita-cita dalam ceritanya. Semua formula tepat berjalan sesuai porsinya.
Melalui kamera Amalia TS, Lucky juga berhasil menangkap sudut-sudut lingkungan sekolah SMA dengan gambar-gambar indah nan melankolis, seperti salah satunya saat gambar pertemuan kali pertama Galih dan Ratna di belakang sekolah, adegan terlihat begitu intens dan akrab. Sudut gambar menarik lainnya ketika Lucky bisa menunjukkan suasana manis dan emosional di mobil angkot, saat Ratna dan Galih bercanda ria sepulang sekolah, atau saat Ratna sendirian mendengarkan "mixtape" pemberian Galih lewat tape recorder milik si abang angkot.
Bersama Fathan Todjon, Lucky menulis skenario film ini dan memberikan nyawa yang kuat pada alur ceritanya, tak hanya pada elemen dramanya, tetapi "kritik sosial" juga tersampaikan dengan baik. Dialognya sangat kaya dan menggelitik; Anda akan menemukan dialog dari yang ringan ala celetukan yang mewakili dunia pergaulan generasi kini, seperti kenapa follower Ratna banyak tapi tidak pernah pakai hashtag, atau komentar tentang Galih yang "nggak punya Instagram, proletar banget nggak sih?", ke dialog yang diserap dari realitas aktual seperti soal petisi ibu-ibu Rembang, hingga dialog yang membahas soal lirik lagu, album musik dan musisi zaman kaset. Semuanya diramu dengan jitu sesuai konteks, hingga tak terkesan sebagai "tempelan", melainkan menjadi menu utama yang terkonsep untuk menggerakkan cerita film ini.
Dari segi pemeran semuanya menonjol. Keberadaan pemeran utama dan pembantu di sini semua memberikan porsi yang sangat sama pentingnya, berjalan beriringan saling melengkapi. Refal Hady misalnya, sebagai aktor pendatang baru ia berhasil membawakan peran Galih versi millenial dengan lebih misterius, pendiam dan susah untuk menyatakan cintanya, namun ia juga tak bisa berteriak meluapkan amarahnya. Jika merasa kecewa Galih hanya bisa lari keliling lapangan basket, seperti Takeshi Kaneshiro saat hari ulang tahunnya di film Wong Kar Wai 'Chungking Express' (1994). Di sisi lain, Sheryl Sheinafia sebagai Ratna juga berhasil mengimbangi Refal sebagai pasangan kekasih; simak saat dia menyanyikan lagu akustik 'Gita Cinta', Sheryl tampil dengan sangat menawan.
Para pemeran pembantu juga semua mencuri perhatian. Stella Lee dan Rain Chudori sebagai teman-teman Galih dan Ratna tampil mewakili generasi millenial. Marissa Anita sebagai tante Ratna yang selalu ceria dan positif, Joko Anwar sebagai guru sekolah yang galak dengan gaya komiknya meninggalkan kekonyolan, Ayu Dyah Pasha sebagai ibu yang egois dan Sari Koeswoyo sebagai kepala sekolah yang tegas, semuanya memberikan peforma terbaik mereka yang semakin membuat film ini kuat dan berkesan. Bahkan kehadiran sekilas pemeran lama Rano Karno dan Yessy Gusman di awal juga mampu mengobati kerinduan bagi generasi lama pentonton Galih dan Ratna.
Menonton 'Galih dan Ratna' tak lebih dari sekedar menonton kisah cinta klasik remaja biasa, atau sekedar nostalgia dengan lagu-lagu lawas yang menyertainya. Tapi, lebih dari itu film ini seperti sebuah perenungan akan makna pada perjalanan kisah masa remaja, dengan cinta dan pertemuan-pertemua lainnya, tentang menghargai momen, idealisme yang kalah, atau egoisme para orangtua yang menghancurkan sebagian mimpi-mimpi anaknya. Kemudian, akan tiba saat ketika Anda tiba-tiba bisa tersenyum oleh kenangan lama melihat adegan memutar pita kaset yang kusut dengan ujung spidol, atau generasi baru sekarang yang mungkin kemudian penasaran mencari lagu-lagu Fariz RM di Spotify.
Masyaril Ahmadpenggemar film
(mmu/mmu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar