
Novel Baswedan, salah satu penyidik KPK, bicara blak-blakan tentang pengakuan anggota Komisi II DPR periode 2009-2014 Miryam S Haryani. Menurut Novel, sejak awal diperiksa 1 Desember 2016 hingga terakhir pada Januari 2017 Miryam sangat kooperatif kepada penyidik. Bahkan, dalam pemeriksaan, anggota Partai Hanura ini mengurai detil penerimaan uang dan ke mana duit dialirkan.
Dalam pemeriksaan itu, kata Novel, Miryam bercerita diancam sesama koleganya di DPR jika mengakui adanya bagi-bagi duit dari proyek e-KTP.
"Saya mengetahui dari media, bahwa ada satu nama yang disebut yaitu Bambang Soesatyo. Yang bersangkutan salah satu orang yang disebut saksi (Miryam) mengancam, Yang Mulia," ujar Novel dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (30/3/2017) seperti ditulis Kompas.com.
Selain nama Bambang, Novel juga menyebut nama politikus PDI Perjuangan Masinton Pasaribu dan politikus Partai Golkar Aziz Syamsudin.
Namun Miryam membantah semua cerita yang diungkapkan Novel. "Anda tetap pada kesaksian dan mencabut BAP?" tanya hakim di Pengadilan Tipikor.
"Iya," kata Miryam.
Jaksa Penuntut Umum KPK menanyakan pertemuan Miryam dengan pengacara kondang Elza Syarif dan Rudy Alfonso, beberapa hari sebelum mencabut seluruh keterangannya dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Miryam pun mengakui pertemuan itu.
"Betul saya dari airport ketemu teman saya di Radio Dalam, tapi tidak jumpa yang bersangkutan. Teman saya, Pak Rudy Alfonso," ujar Miryam.
Dalam pertemuan, kata Miryam, Elza sempat menawarkan jasanya atas kasus yang menimpa Miryam. "Elza bilang 'yang sabar saya udah kayak saudara sama kamu. Ini kalau kamu mau konsultasi (soal e-KTP) bisa dengan saya'," ujar Miryam.
Saat bersaksi pada sidang Kamis (23/3/2017), Yani--begitu Miryam biasa dipanggil--tidak mengakui isi berita acara pemeriksaan. Miryam mengatakan tidak kenal dengan tersangka Andi Narogong, meski di berita acara pemeriksaan menjawab kenal.
Miryam juga membantah pernah dimintai pimpinan Komisi II DPR RI untuk menerima sesuatu dari Ditjen Dukcapil Kemendagri terkait e-KTP. Padahal, keterangan tersebut tertera dalam berita acara pemeriksaan Miryam. Miryam mengaku diancam penyidik untuk mengaku adanya penerimaan uang untuk memuluskan pembahasan anggaran e-KTP di Komisi II. "Saya diancam, saya mau dibidik," kata Miryam sambil menangis.
Miryam mengatakan merasa tertekan dengan cara penyidik menginterogasinya. Penyidik yang ia kenali bernama Novel dan Damanik. Penyidik itu, kata dia, sempat menyatakan bahwa mestinya tahun 2010 dirinya sudah ditangkap KPK.
Miryam juga membantah BAP yang secara terperinci menyebutkan bahwa asisten rumah tangga Miryam dititipi amplop berisi uang. Dalam BAP disebutkan bahwa Miryam melaporkan penerimaan uang ke Mantan Ketua Komisi II DPR RI Chairuman Harahap dan memerintahkan pembagian uang.
"Saya cabut semua keterangan saya, Yang Mulia," kata Miryam.
Dalam sidang perdana dengan terdakwa dua mantan pejabat di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, Miryam disebut menerima US$23 ribu. Menurut Novel, karena Miryam bercerita diancam itu penyidik menawarkan perlindungan. Namun, Miryam membantahnya.
Menurut Miryam, sejak awal diperiksa, penyidik tak pernah menawarkan perlindungan. "Baru kemarin setelah saya dipanggil Kamis kemarin, Novel datang ke rumah saya pagi-pagi sama dua orang. Saya bilang, apa lagi ini?" kata Miryam.
Majelis hakim kembali memberi kesempatan Novel menjawab. Saat pemeriksaan, secara lugas dan detail Miryam menjabarkan soal pemberian uang. Keterangan Miryam itu juga sesuai dengan keterangan saksi lain sehingga penyidik menganggapnya kuat. Kata Novel, Jika penyidik menekan, "kira-kira kepentingan saya melakukan itu (mengancam) apa?"
Sugiharto, terdakwa kasus ini, menyanggah keterangan Miryam. Mantan Direktur Pengelolaan Informasi dan Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri itu berkukuh Miryam menerima duit US$1,2 juta atau sekitar Rp15,9 miliar dari dirinya. Uang sebesar itu, kata Sugiharto, diserahkan sebanyak empat kali.
Uang itu, menurut Sugiharto, merupakan bagian jatah proyek bancakan yang merugikan negara hingga Rp2,3 triliun. "Saya ingin menyampaikan bahwa saksi ini telah menerima empat kali pemberian dari saya, berupa uang," kata Sugiharto seperti ditulis CNN Indonesia.
Sugiharto membeberkan, pertama kali memberikan uang kepada Miryam sebesar Rp1 miliar. Kemudian pemberian kedua sebesar US$500 ribu (sekitar Rp6,6 miliar). Lalu, pada pemberian ketiga, Sugiharto menyebut menyerahkan uang US$100 ribu (Rp1,3 miliar). Adapun pemberian terakhir sebesar Rp5 miliar.
Saat diminta tanggapannya oleh Ketua Majelis Hakim John Halasan Butar-butar, Miryam tetap membantahnya. "Tidak, tidak, tidak ada," timpal Miryam.
Kesal dengan sanggahan Miryam, Jaksa Penuntut Umum KPK meminta agar Majelis Hakim mengingatkan Miryam, sebagaimana diatur dalam Pasal 174 KUHAP. "Merujuk pada Pasal 174 KUHAP, kami minta yang mulia menetapkan yang bersangkutan memberikan kesaksian palsu dan dilakukan penahanan," kata Jaksa Irene Putri.
Namun John tak langsung mengabulkan. Hakim, kata John masih perlu mendengar kesaksian para pihak lainnya dalam proyek senilai Rp5,9 triliun tersebut.
Bantahan Kolega
Mendengar namanya disebut-sebut dalam sidang kasus ini, Bambang Soesatya, Aziz, dan Masinton kompak menyanggah. Aziz mengaku selama ini tak pernah satu Komisi dengan Miryam.
"Jadi kalau saya disebut-sebut, dituduh ikut menekan Miryam, itu saya sampaikan tidak benar. Itu saja," kata Masinton.
Hal yang sama juga diungkapkan Bambang. Ia mengaku sangat dirugikan dengan penyebutan namanya di sidang itu. Karena merasa dirugikan, Bambang akan melaporkan Miryam ke polisi. "Ini sudah keterlaluan dan tidak boleh dibiarkan seseorang Miryam menuduh-nuduh dan menyebut-nyebut nama orang seenaknya," kata Ketua Komisi III DPR ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar