Jumat, 24 Maret 2017

Kisah WNI yang Sudah 20 Tahun Berkiprah Entas Remaja di Thailand

GADIS-GADIS itu duduk bersila di lantai. Mata mereka terpejam. Telapak tangan mereka diletakkan di atas paha. Suasana di ruang komputer Community Learning Center (CLC), Center for Buddha Dhamma Practice and International Charity, Bangkok, itu pun hening. Tak ada suara apa pun.

Maka, ketika diajak masuk ke ruangan tersebut oleh Hartanto Gunawan, guru gadis-gadis itu, saya diminta tidak sampai menimbulkan suara yang mengganggu konsentrasi gadis-gadis tersebut bermeditasi.

''Yang pakai kaus putih itu baru datang, sedangkan yang kaus hitam sudah akan wisuda, 29 Maret ini,'' bisik pria kelahiran Jakarta, 1 Juli 1965, tersebut menjelaskan satu per satu muridnya.

Di ruangan itu terdapat 29 remaja yang sedang bermeditasi Rabu siang (22/3). Separo di antara mereka mengenakan kaus putih. Mereka baru bergabung di CLC pada 19 Maret lalu. Sedangkan 13 lainnya berkaus hitam. Mereka akan diwisuda dan dilepas ke tempat kerja.

Tidak hanya di ruang komputer. Di ruang sebelah, 26 remaja perempuan lain juga melakoni aktivitas yang sama. Komposisinya sama, 13 orang memakai kaus putih dan 13 lainnya kaus hitam. Jadi, total murid Hartanto 55 orang.

''Kalau dijadikan satu ruangan, tidak cukup. Makanya dibagi dua,'' kata Hartanto.

Meditasi merupakan salah satu kegiatan rutin di pusat pelatihan keterampilan yang didirikan Hartanto pada 22 Oktober 2006 itu. Peserta pelatihan adalah gadis-gadis remaja dari keluarga tidak mampu, yatim piatu, atau anak korban broken home dari berbagai kota di Thailand. Latar belakang agama tidak jadi pertimbangan. Agama apa pun diterima meski umumnya warga Thailand beragama Buddha.

''Ada kok yang beragama Kristen. Tapi, yang muslim belum ada. Jadi, lembaga kami ini bukan lembaga keagamaan, melainkan bermisi sosial-kemanusiaan,'' ujar pria yang pernah empat tahun menjadi biksu itu.

Para remaja tersebut tinggal di lembaga pelatihan itu. Semacam tempat penampungan calon tenaga kerja. Sehari-hari mereka mendapat pelatihan keperawatan. Gratis. Semua dibiayai pemerintah Thailand. Baru setelah lulus dari lembaga itu, mereka tidak lagi mendapat fasilitas sekolah gratis.

Nah, mereka yang berasal dari keluarga tidak mampu dan tidak memiliki keahlian apa-apa sangat rawan menjadi korban human trafficking. Misalnya, terjerumus menjadi terapis pijat plus-plus atau komoditas tenaga kerja di luar negeri.

''Perempuan lebih berpotensi menjadi korban. Karena itulah, kami sekarang hanya menerima murid perempuan,'' kata Hartanto.

Pada awal berdiri, CLC sebenarnya pernah menerima murid laki-laki. Namun, setelah empat tahun berjalan, CLC dikhususkan untuk murid perempuan.

CLC memang hanya memiliki skema program pelatihan selama setahun. Para murid diberi beasiswa penuh untuk belajar menjadi perawat. Dalam pelatihan, CLC bekerja sama dengan Universitas Siam dan Thonburi Hospital.

Selain itu, para siswa diajari keterampilan lain seperti musik dan tari klasik Thailand, kerajinan ukiran buah dan sabun, merangkai bunga, pelajaran bahasa, hingga masakan makanan khas Thailand.

Yang tidak kalah penting, mereka mesti mengikuti meditasi setiap hari. Menurut Hartanto, meditasi akan membantu menguatkan dan meneguhkan pikiran. Orang yang rajin bermeditasi akan mudah fokus.

''Karena itu, anak-anak di sini juga disiplin dan menjaga tata krama,'' ungkap pria yang akrab dipanggil Khun Pho atau ayah oleh para muridnya itu.

Kenapa yang dipilih adalah keahlian keperawatan? Hartanto menilai, profesi perawatlah yang menjadi antitesis human trafficking atau perbudakan. Perempuan tidak akan dilecehkan jika menjadi perawat. Bahkan dimuliakan.

''Mau orang kaya atau punya jabatan tinggi, kalau perawat menyuruh pasien berbaring atau istirahat, pasti dituruti,'' tuturnya.

Selain itu, penghasilan seorang perawat di Thailand juga cukup baik. Sekitar 25 ribu baht (sekitar Rp 9 juta) sebulan. Gaji sebesar itu sudah cukup untuk menghidupi keluarga di kampung. Bahkan, banyak alumnus CLC yang bisa membantu biaya sekolah adik-adik mereka. Hingga kini, CLC sudah meluluskan 200 orang.

''Selama sebelas tahun ini misi kami mengantar anak-anak mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Tingkat keberhasilan mereka setelah lulus mencapai 98,23 persen,'' ujar pria yang sampai saat ini masih memiliki keluarga di Meruya, Jakarta Barat, itu.

''Setelah lulus, mereka ada jaminan dapat pekerjaan. Untuk itu, kami bekerja sama dengan pemerintah Thailand,'' imbuhnya.

Hartanto kemudian menceritakan awal mula dirinya terjun di dunia pendidikan nonformal di Negeri Gajah Putih itu. Dia memang mempunyai latar belakang pengusaha. Paling tidak profesi itu pernah dia jalani semasih tinggal di Jakarta. Dia pernah terjun di bisnis konstruksi, perdagangan, hingga ekspor-impor.

Namun, pada 1997, saat Indonesia dilanda krisis moneter dan kekuasaan, tiba-tiba Hartanto memutuskan untuk menjadi bikhu atau biksu di Thailand. Keputusannya itu atas dasar restu dari sang ibu, Ratna Suryani Wiryo.

Hanya, memang tidak untuk menjadi biksu selamanya. Di Thailand, cara itu memungkinkan. Maka, dia menjalani hidup sebagai biksu beberapa tahun di sana.

''Saat itu saya berpikir tidak mau jadi anak durhaka,'' ujar dia.

Pada awal hidup di Thailand, dia langsung diminta tinggal di hutan Sakhon Nakhon, sekitar 700 kilometer timur laut Bangkok. Dia tinggal di wihara tua dan kecil di pulau tengah danau sendirian.

Untuk menuju ke permukiman terdekat, harus menunggu perahu nelayan yang kebetulan lewat di sekitar wihara. Hampir setiap hari dia juga mesti berjalan kaki 6 kilometer ke rumah-rumah penduduk.

''Sekitar dua tahun di wihara itu, saya kemudian meminta untuk dipindah ke Wat Arun agar bisa bermeditasi lebih dalam,'' ungkapnya.

Wat Arun merupakan wihara milik kerajaan Thailand yang ditetapkan UNESCO sebagai warisan budaya dunia. Tiap tahun keluarga kerajaan punya acara khusus di wihara yang juga dikenal sebagai Temple of Dawn itu. Lokasinya sekitar 45 menit perjalanan arah barat dari pusat Kota Bangkok.

Setelah dua tahun di Wat Arun, Hartanto akhirnya memutuskan untuk berhenti menjadi biksu. Dia beralasan ingin lebih menyelami dunia sosial, kemanusiaan, dan pendidikan.

Tidak mudah bagi Hartanto untuk bisa langsung berkiprah di bidang yang diinginkan. Dia pun sempat menjadi sopir kendaraan wisata untuk mencari penghidupan di Bangkok. Saat itulah, dia bertemu pasangan Janet Stowe dan Walter Stowe, pasangan dari Amerika Serikat, yang ingin mengadopsi anak dari Thailand.

''Saya sempat membantu menguruskan adopsi kakak-beradik yang kala itu masih berusia enam dan empat tahun. Sekarang mereka sudah kuliah di Amerika," ungkap Hartanto.

Komunikasi dengan keluarga Walter Stowe terus terjalin. Hingga pada 2004 dia diundang ke Amerika Serikat untuk mempresentasikan program pelatihan untuk anak-anak Thailand yang rentan menjadi korban trafficking. Proposal itu disetujui dan pada 2005 dana dari keluarga Walter turun. Sekitar setahun dia merintis pusat pelatihan dan meditasi yang berlokasi di bagian belakang Wat Arun Temple itu.

"Ruangan ini (ruangan CLC) dulunya tempat pembuangan sampah," ujarnya.

Seiring berjalannya waktu, CLC juga mendapatkan sokongan dana dari pemerintah Amerika Serikat secara rutin. Nama dan kredibilitas lembaga pendidikan keperawatan tersebut juga diakui pemerintah.

Lantaran pengabdiannya yang total, kerajaan Thailand pernah secara khusus meminta Hartanto untuk pindah menjadi warga Thailand. Tidak hanya sekali, tapi sudah tiga kali dirayu untuk pindah kewarganeragaan. Namun, Hartanto menolaknya dengan halus. Dia mengaku lebih nyaman tetap menjadi warga negara Indonesia. (*/c5/c10/ari)

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search