Jumat, 17 Maret 2017

Korupsi e-KTP, kisah dari halaman sembilan

Merdeka.com - Setebal 121 halaman. Disusun sepuluh jaksa. Dakwaan korupsi e-KTP ini heboh sepekan belakangan. Penuh nama besar. Penuh angka besar. Dari nama gubernur, anggota DPR, mantan menteri, menteri, hingga ketua DPR Setya Novanto. Dakwaan ini membeberkan secara rinci bagaimana dugaan patgulipat ini berlangsung. Diatur secara seksama. Lakon terang. Peran juga terang. Jika mau duduk dan membaca, Anda juga menemukan kejanggalan di sana.

Merdeka.com, yang berkali-kali membaca dokumen ini, menemukan kejanggalan itu pada halaman sembilan. Mari kita simak bersama. Di situ dikisahkan bahwa pada sekitar September-Oktober 2010, Andi Agustinus datang ke DPR. Andi, yang juga kerap disebut dengan nama Andi Narogong ini, bukan anggota dewan. Disebut sejumlah media sebagai salah satu tokoh penting dalam kasus yang merugikan negara Rp 2,3 triliun itu.

Pada rentang waktu itu, Andi datang ke ruangan anggota dewan bernama Mustoko Weni. Memberi sejumlah uang kepada beberapa anggota DPR. Dengan tujuan, "Menyetujui anggaran untuk proyek pengadaan dan penerapan KTP berbasis NIK," begitu kata dakwaan itu.

Siapa saja menerima uang ini? Berapa jumlahnya? Nama orang-orang itu sudah riuh diberitakan sepekan ini. Sekadar mengulang saja. Anas Urbaningrum diberikan sejumlah 500 ribu dolar. Biar nggak puyeng, kita rupiahkan saja. Kira-kira sejumlah Rp 6,6 miliar. Uang sebanyak itu tidak diberikan langsung kepada Anas. "Diberikan melalui Eva Ompita Soraya."

Siapa Eva Ompita ini? Memang belum terang benar. Dakwaan ini hanya secara terang menyebutkan bahwa pemberian itu merupakan lanjutan dari pemberian sebelum yang jumlahnya lebih melangit. Dua juta dolar. Setara Rp 26 miliar. Uang jumbo itu diberikan kepada Anas lewat Fahmi Yandri. Siapa pula si Fahmi ini? Seperti halnya soal Eva, dakwaan itu tidak secara rinci menyebut hal ihwal soal Fahmi.

Infografis kasus korupsi e-KTP 2017 Merdeka.com/Auliya Ashri Mustar

Hanya di halaman sembilan itu disebutkan bahwa sebagian uang itu kemudian dikirim demi memenangkan Anas merebut kursi Ketua Umum Demokrat pada Kongres di Bandung. Anas menang dalam Kongres itu. Menekuk Marzuki Ali dan Andi Mallarangeng, yang disokong kuat Cikeas. Cuma sebentar jadi ketua, Anas kini meringkuk di bui Sukamiskin dalam kasus korupsi Hambalang.

Tokoh lain yang disebut diberikan uang di halaman itu Khatibul Umam Wiranu. Anggota Komisi II dari Fraksi Partai Demokrat. Komisi yang membahas proyek raksasa ini. Khatibul diberi 400 ribu dolar. Mohammad Jafar Hafsah, ketua Fraksi Partai Demokrat, sejumlah USD 100.000. "Yang kemudian dibelikan satu unit mobil Land Cruiser." begitu bunyi dakwaan itu.

Nama-nama lain yang disebut dalam dakwaan menerima uang pada periode September-Oktober 2010 di ruang kerja Mustoko Weni itu adalah Arief Wibowo. Dia anggota Komisi II juga dari PDIP. Terima 100 ribu dolar. Lalu ada juga nama Chaeruman Harahap, politikus Golkar yang menjabat sebagai ketua Komisi II. Terima 550 ribu dolar. Ganjar Pranowo (Fraksi PDIP) 500 ribu dolar. Agun Gunandjar Sudarsa(Fraksi Golkar)1 juta dolar. Ignatius Mulyono (Fraksi Demokrat) 250 ribu dolar. Taufik Effendi (Fraksi Demokrat) 50 ribu dolar. Teguh Juwarno (Fraksi PAN) 100 ribu dolar. Dan Mustoko Weni (Fraksi Golkar) 400 ribu dolar. Semuanya dalam mata uang dolar Amerika.

Nama terakhir itulah yang terdengar agak janggal, Mustoko Weni. Janggal sebab Mustoko diketahui sudah meninggal pada 18 Juli 2010. Tiga bulan sebelum pemberian duit ini berlangsung. Mustoko Weni, anggota dewan Fraksi Golkar itu, wafat saat kunjungan kerja ke Semarang, Jawa Tengah. Sudah wafat, ruangan masih ada dan masih diberikan duit pula?

Soesilo Aribowo, kuasa hukum dua terdakwa kasus ini Irman dan Sugiharto, menegaskan bahwa pada dakwaan itu memang ada beberapa kesalahan.

"Betul dakwaannya banyak yang salah, perlu diluruskan, kan baru dakwaan," ujar Soesilo lewat pesan singkat kepada Merdeka.com.

Arief Wibowo, anggota Fraksi PDIP yang ditanyai wartawan Merdeka.com juga menyebut banyak keganjilan dalam dakwaan itu. "Keganjilan demi keganjilan," ujarnya.

Teguh Juwarno, yang juga disebut menerima uang di ruangan Mustoko Weni,menyebut dakwaan jaksa hasil mengarang. Dalam dakwaan itu, kata Teguh, disebutkan ada penyerahan uang di ruang Ibu Mustoko Weni, padahal dia sudah meninggal. "Bahkan disebutkan bahwa Mustoko Weni salah satu penerima, arwahnya yang terima?" Dakwaan itu, tegasnya, adalah sebuah halusinasi yang keji.

Betulkah itu halusinasi? Sumber Merdeka.com, seorang pejabat di KPK, tegas membantah tuduhan mengarang atau halusinasi itu. "Kalau ruangan, meski yang bersangkutan sudah meninggal dunia, ruangannya belum tentu langsung diganti." Tentang pemberian uang kepada sembilan orang itu, tambahnya, bisa saja tidak langsung. "Pemberian tersebut bisa saja melalui orang tertentu atau dialokasikan untuk orang tertentu." Kalau untuk Anas, lanjutnya, memang jelas disebutkan uang diberikan lewat siapa. " Yang jelas nanti akan diungkap di pengadilan," ujarnya.

Selain Mustoko Weni, tiga nama lain yang saat itu duduk di Komisi II, juga sudah meninggal dunia. Burhanuddin Napitupulu yang menjadi Ketua Komisi II meninggal dunia pada 21 Maret 2010. Lalu Rahadi Zakaria yang meninggal di Semarang, Jawa Tengah, 8 Oktober 2014. Dua nama ini tidak tercatat sebagai penerima dana. Nama lain yang juga sudah almarhum adalah Politisi Partai Demokrat Mayjen TNI (Purn) Ignatius Mulyono. Wafat pada usia 70 tahun di Rumah Sakit Medistra, Jakarta, 1 Desember 2015 lalu. [hhw]

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search