TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menyadari budaya sebagai akar dari sebuah bangsa serta seni tari menjadi medium estetika dalam merangkai cerita, seolah mengantarkan hadirnya sebuah opera tari Jawa bertajuk Arka Suta.
Sejumlah nilai-nilai kehidupan pun mampu dipetik dari persembahan agung maestro tari tradisional, Retno Maruti.
Dalam pementasan hari kedua yang sukses digelar Jumat (17/03) malam di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki Jakarta, mengukuhkan eksistensi kelompok tari Padnecwara yang telah 41 tahun turut menjaga khasanah budaya tari Nusantara.
"Kalau saya lihat dari luar, kehebatan Padnecwara adalah daya tahan. Dengan waktu yang panjang mereka mampu membangun komunitas dan penontonnya dengan dinamisasi pertunjukan yang mereka ciptakan," ujar Fajar Satriadi yang diundang untuk tampil sebagai penari dalam pagelaran tersebut.
Ini bukan kali pertama Fajar berkolaborasi dengan Padnecwara. Dalam rangka pesta perak pernikahan Retno Maruti dan Sentot S., pasangan itu melahirkan karya Untung Suropati dan Fajar turut ambil bagian sebagai penari utama dalam lakon drama tersebut.
Kini, sebagai ungkapan syukur atas usia Retno Maruti yang genap berusia 70 tahun, kesetiaannya untuk terus melestarikan nilai estetika Nusantara sebagai kisah-kisah klasik budaya bangsa tidak pudar. Arka Suta terlahir sebagai karya bersama dan merupakan persembahan Padnecwara untuk sang maestro.
Arka Suta dengan koreografi dari Rury Nostalgia menghadirkan kolaborasi para penari dari Surakarta dan Jakarta yang memerankan tokoh-tokoh dalam alur cerita tersebut. Selain Retno Maruti, turut tampil pula Ali Marsudi, Fajar Satriadi, Wasi Bantolo, Yuni Swandiati, Mahesani Tunjung Setia, Hany Herlina dan Nungki
"Ini adalah karya baru dengan sentuhan Rury Nostalgia yang memberi kesegaran pada karya-karya Padnecwara sebelumnya. Ini pun bisa terwujud, tak lain karena dukungan sahabat Padnecwara semuanya. Dukungan yang berangkat dari adanya kesepahaman akan pentingnya menjaga nilai estetika Nusantara yang tersimpan pada kisah-kisah klasik kita," ungkap Retno Maruti.
Ada pun lakon Arka Suta mampu memukau para penonton dengan sajian pesan melalui gerak dan ekspersi tari yang menggambarkan bingkai kehidupan seorang tokoh bernama Karna berkecamuk perang dengan para saudara seibunya. Kesetiaannya kepada Surtikanti istrinya, dan Ibu Nada sebagai ibu angkat yang merawatnya sejak kecil, menempatkan kedua wanita itu pada kemuliaannya.
Apresiasi besar pun ditunjukan oleh para hadirin yang memenuhi Graha Bhakti Budaya yang merasa telah diberi sentuhan budaya klasik Jawa dengan sangat apik.
"Arka Suta patut dipuji dengan penampilan para penari dan pengrawit yang bisa memberikan suguhan budaya Jawa yang menarik. Ini dapat dijadikan salah satu cara mempopulerkan kebudayaan Indonesia, khususnya budaya Jawa agar dapat terus berkembang dan dinikmati berbagai kalangan masyarakat," ujar Liliyana, salah satu penonton yang terkesan dengan pertunjukan tersebut.
Deretan figur lain yang turut menjadi bagian dalam pergelaran ini diantaranya adalah Nanang Hape bertindak sebagai penulis naskah, sedangkan penata artistik ditangani Sentot S, penata gending atau tembang oleh Blacius Subono serta penata cahaya dan penata suara dipercayakan kepada Sonny Sumarsono dan Bayu Wicaksono.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar