Rabu, 14 Juni 2017

Apakah ini kisah cinta yang paling romantis dan paling sempurna?

Saya berada di satu kafe di kawasan Kota Lama Neuchatel, kota di Swiss yang sangat kental dengan nuansa abad pertengahan.

Di bawah sinar matahari yang hangat, saya duduk menikmati bir. Di belakang saya, duduk seorang perempuan muda. Matanya biru mengkilap dengan rambut hitam pekat yang bergelombang.

Ia duduk di samping meja bundar yang terbuat dari marmer, mirip dengan meja yang biasa ditemui di kafe-kafe Eropa. Tak ada yang istimewa dari meja ini. Yang membuatnya tak biasa adalah ada hiasan papan catur di meja tersebut.

Dalam hati, saya mencoba menyusun kalimat 'maukah kamu bermain catur dengan saya' dalam bahasa Prancis.

Kepingan kenangan ini terjadi pada Juni 1975. Saya tengah jalan-jalan di Swiss dan Prancis sebelum menjadi mahasiswa tingkat strata satu di Chicago, Amerika Serikat. Saya melancong dengan mengandalkan kebaikan hati para pengendara mobil yang memberi saya tumpangan gratis.

Saya berada di Neuchatel hanya karena sehari sebelumnya mobil yang saya tumpangi menuju ke kota ini.

Saya menginap di satu hostel di atas bukit. Pada hari itu cuaca panas dan saya haus sehingga memutuskan untuk turun dan duduk-duduk santai di Cafe Pam-Pam.

Akhirnya saya memberanikan diri untuk berbicara dalam bahasa Prancis dengan ala kadanya. Ia menjawab dalam bahasa Prancis, "Pardon?" Saya mengulangi lagi kalimat yang pada intinya adalah mengajaknya bermain catur.

Ia mengatakan dalam bahasa Inggris, "Perhaps we should speak English." "Mungkin sebaiknya kita mengobrol dalam bahasa Inggris saja."

Namanya Maif, panggilan pendek untuk Marie-France, usianya 19 tahun dan tinggal di Neuchatel. Ia biasa menghabiskan waktu di kafe untuk minum kopi dan merokok sepulang sekolah. Pada hari pertemuan tersebut, ia baru saja menyelesaikan ujian SMA.

Jatuh cinta tapi tak berani mengatakan

Selama dua hari berikutnya, Maif mengajak saya jalan-jalan dan menunjukkan sudut-sudut kota tempat ia tinggal. Kami menyusuri jalan berbatu menuju kastel yang dibuat pada abad ke-12, merebahkan badan di atas rumput di tepi danau sambil menikmati indahnya Gunung Alpen.

Kami melewatkan waktu hingga petang dan mengakhiri hari dengan masuk ke klub yang menyediakan jukebox, mesin pemutar lagu, yang akan memainkan lagu setelah kita memasukkkan koin ke mesin ini.

Pemusik favoritnya adalah George Benson.

Selama dua hari bersama, kami tak pernah berciuman. Saya akui saya jatuh cinta dengannya, tapi ia mengaku sudah punya kekasih di Kanada. Ia akan segera menyusulnya ke sana dan mengikuti kuliah bahasa Inggris.

Terus terang saja, saya tak punya keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya saya rasakan.

Jadi, saya putuskan untuk meninggalkan Neuchatel, menumpang mobil orang lagi ke tempat yang saya tak pernah ingat namanya. Tapi beberapa hari kemudian saya menyerah dan kembali ke Neuchatel, ke Cafe Pam-Pam.

Tak lama kemudian Maif datang dengan skuter hitamnya. Setelah menghabiskan satu cangkir kopi, ia mengajak saya ke satu rumah tak jauh dari Cafe Pam-Pam. Di rumah inilah ia tinggal bersama neneknya.

Kami makan siang dengan telor dadar yang disiapkan sang nenek. Saya tak pernah makan siang dengan menu telor dadar. Kami menyantap hidangan di dapur.

Saya masih punya waktu di Neuchatel sebelum terbang kembali ke Amerika tapi semakin lama berada di kota ini, semakin sakit rasanya.

Sakit karena tak bisa mengatur rasa antara cinta dan keinginan untuk mengutarakannya ke Maif.

Keesokan harinya saya ucapkan selamat tinggal. Kami berdiri di depan rumah dan akhirnya saya menciumnya. Bukan di bibir, tapi di pipi, ciuman perpisahan antara dua kawan. Ketika membalikkan badan, saya mendengar Maif mengucapkan sesuatu dengan lirih. Saya menangkap ada rasa kecewa yang dalam dalam ucapan lirihnya.

Saya tak tahu mengapa saya tak menoleh dan kembali kepadanya. Saya sungguh menyesal dan merasa seperti orang yang idiot.

Pada bulan September saya memulai studi saya di Chicago sementara Maif, yang saya tahu, di Ontario untuk belajar bahasa Inggris. Kami sekali saling bertukar surat. Saya meneleponnya sekali dan ia mengatakan mungkin akan ke Chicago tidak lama lagi. Namun ketika saya meneleponnya lagi Maif mengatakan ia punya pacar baru.

Hilang kontak

Dan kami pun hilang kontak. Selama 32 tahun.

Setelah selesai kuliah, saya ke Australia dan Selandia Baru selama satu setengah tahun sebelum ke Hawaii. Di Hawaii ini keluarga saya pernah menetap selama tiga tahun pada 1960-an.

Kadang saya memikirkan Maif tapi hanya sekedar mengingatnya dalam kenangan memori.

Tahun demi tahun berlalu, dunia berubah, dan tibalah era internet. Rekan-rekan di kantor memaksa saya menggunakan layanan jejaring sosial untuk para profesional LinkedIn. Ini menginspirasi saya untuk melacak keberadaan Maif dan ketika saya mengetikkan namanya di Google, muncul akun LinkedIn Maif.

Saya memberanikan diri untuk mengirim pesan dan 'jreng' kami akhirnya bisa lagi menjalin kontak. Ia bekerja di Jenewa sementara saya menetap di Hawaii.

Ia bercerita bahwa sebelum pesan elektronik pertama saya datang, ia bermimpi bertemu perempuan misterius yang mengenakan kerudung. Maif bertanya ke mana perempuan ini akan pergi dan ia menjawab, "Saya kembali ke Akron." Maif bertanya lagi, "Apa yang terjadi di Akron?" Perempuan ini tak menjawab.

Akron adalah nama tempat di Ohio, daerah yang saya tempati ketika saya bertemu Maif pada 1975.

Kami bertukar email setiap hari dan kemudian melalui Skype. Kami sama-sama sudah lama menjadi duda dan janda. Anak-anaknya telah beranjak dewasa sedang saya sendiri tak punya anak.

Ia menjalin hubungan seseorang dalam delapan tahun terakhir tapi hubungannya ini berakhir.

Dari komunikasi intens ini kami sadar bahwa kami sama-sama menyukai Leonard Cohen, Tom Waits, dan Vic Chesnutt. Kami juga sama-sama senang digoda. Akhirnya kami tiba satu kesimpulan: kami sebaiknya berhubungan dengan lebih serius.

'Cinta lama bersemi kembali'

Ia ke Hawaii selama beberapa pekan dan setahun berikutnya saya ke Jenewa dan tinggal di rumahnya selama tiga bulan bersama anaknya yang sudah dewasa, Daniel.

Dari sini kami menyadari bahwa kami masih saling suka. Waktu 32 tahun ternyata tak menghapus rasa itu. Rasa cinta yang tertinggal di depan satu rumah, di dekat Cafe Pam-Pam di Neuchatel, ternyata tidak hilang.

Kami menikah dan tahun ini pernikahan kami memasuki tahun yang ketujuh.

Beberapa tahun lalu, saat kami melewatkan waktu di ladang pertanian di atas Neuchatel, saya menerima paket dari kawan lama di Ohio. Isinya kartu pos yang dibingkai: kartu pos yang lebih dari 30 tahun lalu yang saya kirim dari Neuchatel untuk kawan baik saya, Larry dan Sandy.

Ini antara lain yang saya tulis pada kartu pos tersebut:

... Marie-France, gadis cantik berusia 19 tahun. Bersamanya saya menghabiskan hari-hari yang indah di Neuchatel. Ia tinggal di kota ini dan bahasa Inggrisnya sangat bagus. Kalau saya tak meninggalkan kota ini, mungkin saya terperangkap dalam jeratan asmara yang pelik karena saya tahu saya mungkin saja telah jatuh cinta dengannya selamanya.

Pertama kali ketika kami kembali ke Neuchatel, saya dan Maif langsung ke Cafe Pam-Pam. Kami mencari meja marmer dengan hiasan papan catur. Ternyata setelah lebih dari 30 tahun, meja itu masih ada.

Meja itu sekarang berada di teras depan rumah kami, menjadi adalah saksi bisu dari pertemuan pertama kami. Pertemuan yang memercikkan cinta, yang tak hilang meski kami sempat tak berjumpa 32 tahun lamanya. ***

Tulisan asli dalam bahasa Inggris dengan judul Is this the most perfect love story? bisa Anda baca di BBC Trav

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search