Rabu, 28 Juni 2017

Bukan Sekadar “Malam Lebaran”

LEBARAN bisa memesona siapa pun. Ia memesona Sitor Situmorang sehingga penyair nonmuslim itu melahirkan puisi fenomenal, "Malam Lebaran", yang hanya berisi kalimat bulan di atas kuburan. Ia juga menyihir Joko Pinurbo (Jokpin) sehingga penyair Katolik itu menulis puisi "Mudik". Dalam puisi itu, sang aku lirik menyaksikan aneka peristiwa yang terjadi di kampung halaman, setelah sekian lama merantau: Ibu sedang memasang senja di jendela/Kakek sedang menggelar hujan di beranda./Ayah sedang menjemputku entah di stasiun mana.

Apa yang menarik dari teks Sitor maupun Jokpin? Kedua-duanya melukiskan sesuatu yang jarang lagi didapatkan di kota. Sangat sulit orang mendapatkan sensasi bulan di atas kuburan. Sangat sulit orang menikmati senja atau hujan di tengah-tengah kesibukan tak terperi. Lebaran, dalam pandangan kedua penyair itu, bisa mengantarkan orang-orang kota pada apa pun yang lebih mungkin terjadi di kampung halaman.

Di kawasan yang nun jauh dari kota, kawasan yang antara lain harus dicapai dengan kereta api, pesawat terbang, bus, sepeda motor, taksi, helikopter, atau jika tak punya apa-apa dengan berjalan kaki. Akan tetapi hakikat Lebaran bukan hanya itu. Banyak sekali sastrawan di negeri ini yang menjadikan peristiwa Lebaran, Puasa, atau Idul Fitri sebagai tema karya mereka. Mereka mengirimkan pesan-pesan kebajikan lewat teks-teks itu.

Kemuraman

Dalam antologi cerpen bertajuk Kurma, misalnya, muncul karya-karya semacam "Lailatul Qadar" (Danarto), "Puasa Itu" (Senu Subawajid), "Kurma" (Yanusa Nugroho), "Tiga Butir Kurma Per Kepala" (Yusrizal KW), "Menjelang Lebaran" (Umar Kayam), "Malam Takbir" (Hamsad Rangkuti), "Reuni" (Hamsad Rangkuti) "Lebaran" (Taufik Ikram Jamil), "Tamu yang Datang di Hari Lebaran" (AA Navis), "Jakarta Sunyi Sekali di Malam Hari" (Jujur Prananto), dan "Gambar Bertulisan 'Kereta Lebaran'" (Gus Tf Sakai). Apa yang diungkapkan oleh para penulis cerita itu? Gus Tf Sakai, misalnya, di salah satu bagian, menulis cerita tentang kecelakaan saat Lebaran sebagai berikut: Padahal, kalau bocah itu segera berlari ke ujung jembatan, masih akan sempat. Tetapi, tubuh kecil itu hanya terpaku, mendekap buku lebarnya dengan mata terbelalak, berteriak, "Emaaaaakkk…!" Dan ketika lokomotif masuk depo di kota berikut, barulah ia tahu buku lebar itu ikut terbawa, entah bagaimana caranya, tertelungkup di lantai lok. Saat ia raih dan lihat, ternyata buku gambar. Baru satu halaman yang terisi. Dan gambar itu … gambar serangkaian kereta yang tengah melaju.

Di bagian bawah, dengan huruf-huruf besar yang terkesan masih berserak, tertulis: Kereta Lebaran. Ia menggigil. Gemetaran. Saat itu, memang, minggu depannya adalah Lebaran. Teks ini menjelaskan kepada kita betapa Lebaran memang merupakan selebrasi kemenangan setelah satu bulan berpuasa, tetapi pada saat sama akan menjadi musibah jika kita tak mengelola mudik atau Lebaran dengan bajik dan bijak.

Teks ini merupakan satu metafora meyakinkan betapa dalam ritual yang sangat agung dan akbar itu terselip juga kisah muram tentang seorang bocah kecil yang menanti hari Lebaran tiba. Pengarang lain yang cukup banyak menulis kisah Lebaran adalah Umar Kayam. Dalam antologi cerpen Lebaran di Karet, di Karet…ada delapan cerpen bertema Lebaran dengan berbagai variasinya. Sila baca "Ke Solo, ke Njati", "Ziarah Lebaran", "Menjelang Lebaran", "Lebaran Ini, Saya Harus Pulang", "Marti", "Mbok Jah", "Lebaran di Karet, di Karet …", dan "Sardi", maka Anda akan menemukan aneka kisah muram Lebaran yang ditulis dengan empati yang luar biasa.

Ada tokoh yang tidak bisa mendapatkan bus untuk mudik, ada yang di-PHK menjelang Lebaran, kesepian ditinggal anak ke luar negeri, ada yang harus mencuri uang majikan demi ber-Lebaran, ada pembantu yang merasa bebas dari majikan, dan aneka kisah lain. Kayam menulis banyak cerita Lebaran karena ia memang dikenal juga sebagai pengarang spesialis Lebaran.

Dari 22 kisah yang pernah ditulis, delapan di antaranya bertema Lebaran. Ini menjelaskan kepada kita betapa Lebaran bukanlah peristiwa biasa. Meskipun demikian, paling tidak menurut budayawan Goenawan Mohamad, Lebaran tak melulu berkait dengan kesucian. "Lebaran adalah pesta, perayaan, kegembiraan, bahkan di sana-sini 'kemewahan'. Saya kira pulang mudik di sekitar Idul Fitri lebih didorong hasrat berbagi ketimbang menjalankan laku religius ñdan karena itu penting bagi kehidupan pribadi maupun sosial. Hanya masyarakat yang bersedia sakit jiwa yang mengharamkan orang berbagi kegembiraan." Karena itulah, sangat wajar jika para sastrawan kemudian tak hanya mengungkapkan pesan-pesan kesucian dalam kisah-kisah seputar Lebaran.

Dalam cerpen "Sayap Kabut Sultan Ngamid" malah ada kisah islah politik yang gagal antara Pangeran Diponegoro dan de Kock pada saat Lebaran. Dalam "Seperti Gerimis yang Meruncing Merah" ada pertobatan orang-orang berhati iblis.

Dekat dengan Manusia

Jadi, memang bisa disimpulkan, Lebaran menjadi sesuatu yang memesona karena ia sangat dekat dengan manusia dan lebih dari itu senantiasa diselebrasikan sebagai peristiwa yang sangat agung. Mengapa sastrawan juga merayakan Lebaran di dalam karya sastra?

Sastrawan Budi Darma pernah menyatakan, "Lebaran adalah ritual, demikian pula implikasi Lebaran termasuk tradisi mudik dan maafmemaafkan pada hari Lebaran. Begitu berhubungan dengan ritual, dengan akar mitos, manusia siap berkorban banyak, karena dalam keadaan seperti ini, manusia seakan-akan masuk ke alam keterbiusan primitif." Jadi, saat menulis kisah-kisah dan puisi Lebaran, agaknya sastrawan masuk dalam alam keterbiusan primitif.

Masih beruntung dalam keterbiusan itu sastrawan masih bisa mengajak siapa pun untuk meminta maaf sebagaimana tampak dalam puisi "Selamat Idul Fitri" karya Ahmad Mustofa Bisri: selamat idul fitri, bumi/maafkanlah kami/selama ini/telah semena-mena/kami memperkosamu// selamat idul fitri, langit/ maakanlah kami/selama ini/tidak henti-hentinya/kami mengelabukanmu… Jadi, Lebaran memang telah memesona siapa pun (termasuk sastrawan) sehingga mereka tak sekadar merayakan secara profan dan besar-besaran, tetapi juga merenungkan dalam cara yang sakral dalam sunyi, dalam diam… (Triyanto Triwikromo-07)

Comments

comments

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search