TERKADANG kisah humor mampu lebih menjelaskan makna apa yang disebut sebagai kebahagiaan ketimbang ilmu filsafat yang paling serius.
Berselang seminggu kemudian, sang petani kembali berkunjung ke pertapaan sang ulama arif-bijaksana sambil bersungut-sungut kepada sanga ulama "Apanya yang bahagia ? Rumah saya dipadati dua lusin ayam, selusin kambing, enam kuda dan enam sapi hingga seisi rumah berbau busuk akibat tumpukan kotoran dan bau kentut empatpuluhdelapan ekor hewan sialan itu!" Sang ulama menggangguk-anggukan kepala sambil arif bijaksana bersabda "Bagus! Silakan kini kamu kembali ke rumahmu lalu usir semua hewan ternakmu ke luar rumahmu untuk kembali ke kandang masing-masing!".
Sang petani bergegas kembali ke rumahnya demi melaksanakan petunjuk sang ulama arif-bijaksana. Setelah para hewan-ternak kembali ke kandang masing-masing, sang petani tidak pernah kembali menghadap sang ulama sebab akhirnya sudah berhasil menemukan kebahagiaan.
Dari kisah petani tersebut dapat disadari bahwa pada hakikatnya apa yang disebut sebagai kebahagiaan merupakan suatu bentuk perasaan yang secara subyektif sekaligus kontekstual ruang dan waktu mau pun kondisi emosional terkait pada pihak yang merasakannya.
Di sisi lain, sebuah fabel bersuasana humor membandingkan Orde Baru dengan Orde Reformasi secara gamblang meski agak "menyakitkan" menjelaskan makna kebahagiaan alam demokrasi yang sebenarnya : Di masa Orde Baru dua ekor anjing berbincang soal kebahagiaan hidup .
Yang seekor bertanya " Kamu bahagia?" yang lain menjawab "Mana mungkin bahagia ? Cari makan susah ! ". Kemudian mereka berdua berpisah untuk berjumpa kembali setelah Orde Reformasi berhasil melengserkan rezim Orde Baru . Anjing yang anti demokrasi bertanya "Sekarang kamu bahagia?" yang pro demokrasi menjawab "Bahagia !" , yang anti demokrasi sinis menukas : "Mana mungkin bahagia? Cari makan makin susah !", langsung tegas dibantah oleh yang pro demokrasi : "Tetapi sekarang saya bebas menyalak ! Huk ! Huk ! Huk ! Huk !" dibantah pula oleh yang anti demokrasi " Hati hati kamu jangan sampai dituduh makar!"
Ada pula kisah fabel tentang seekor anjing yang terpaksa ikut majikannya yang kena gusur lalu dipaksa pindah ke rusunawa. Setelah berselang seminggu kemudian ternyata sang anjing tidak menggoyang ekornya ke kanan ke kiri tetapi ke atas dan ke bawah. Ketika ditanya kenapa anjingnya bersikap aneh begitu maka sang majikan menjelaskan "Memang saya paksa dia goyang ekor ke atas ke bawah akibat ruang di rusunawa sangat sempit! [***]
Penulis adalah penggagas Humorologi, Kelirumologi, Alasanologi, Malumologi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar