Minggu, 09 April 2017

Melacak Jejak Mante

Sepertinya, inilah tantangan di awal abad ini. Bisakah orang memberi kata pasti, apakah benar suku Mante, yang semula hanya mengisi legenda sejarah itu, masih ada di zaman ini?

Heboh besar tentang isu ini bermula ketika belum lama berselang media sosial menyiarkan temuan sosok misterius. Ada yang menyebut penampakan itu merupakan suku Mante yang melintas di sekitar hutan Krueng Jreue, Aceh Besar.

Orangpun berdecak, kagum. Banyak yang mau tahu kebenarannya. Dan, dengarlah, begitu banyak pula yang 'mengarang-ngarang', menambah bumbu cerita. Sehingga sulit menyimpulkan di manakah kebenaran dan di mana pula kebohongan. Sehingga sampai hari ini kisah orang Mante yang sejak semula penuh misteri menjadi semakin misterius. Andai pun demikian, adanya perhatian Menteri Sosial RI Khofifah Indar Parawansa dan jajarannya yang berniat melakukan penelitian, sedikit memberI harapan. Namun, keberadaan suku Mante yang sejak berabad-abad lampau menjadi bagian dari kronika sejarah, dapatkah diperjelas pada masa sekarang?

Liputan Khusus Serambi hari ini mencoba menelusuri jejak literatur dan menghimpun cerita-cerita mengenai itu. Sebuah tim juga diturunkan Serambi untuk meneliti kembali hutan seputaran Krueng Jreue di Aceh Besar. Konon, di tempat itu, menurut kisah para pengendara sepeda motor, ada penampakan sosok misterius yang kemudian berkembang dugaan sebagai orang Mante. Hanya sekilas, lalu lenyap ke dalam hutan, tanpa bekas. Peristiwa itu terekam video para pemotor. Lalu, tersiarlah ke mana-mana, menembus cakrawala virtual.

Setelah itu, berkembanglah pertanyaan, apakah di tengah kehidupan modern seperti sekarang ini masih tersisa sosok kehidupan primitif dalam aroma kepurbaan?

Begitulah awal ceritanya, sehingga sekitar 40 tahun yang lalu, Sjamsul Kahar, wartawan senior Serambi Indonesia 'menyusup' dalam dua kali ekspedisi menyisir pedalaman Aceh. Kisah ekspedisi itu pernah ditulis dalam laporan Mencari Jejak Mante di pedalaman Aceh. Agaknya laporan itu menjadi masukan penting sekarang ini, karena itulah Serambi mendaur ulang tulisan tersebut.(*)

Ekspedisi ke Masa Lampau
Inilah perjalanan paling membekas. Kisahnya ditulis kembali, meskipun 40 tahun telah berlalu. Lintas kenangan ini, terangkai dari dua kali ekspedisi. Tentu saja, berupa napak tilas dari dua kali perjalanan ke pedalaman Aceh yang pernah diikuti dalam kisaran tahun 1976.

Adalah Ir Sutami, Menteri PU zaman itu, Gubernur Aceh A Muzakir Walad, lalu berselang waktu kemudian Gubernur Aceh Prof Dr Ibrahim Hasan menjadi orang penting yang tercatat dalam ekspedisi itu. Luar biasa! Kedua ekspedisi itu niscaya ibarat perlawanan menantang alam. Mobil-mobil yang berkekuatan besar harus menerobos hutan belantara, mendaki gunung, bertarung dengan maut di bibir jurang Leuser.

Begitulah, yang namanya jalan, dan jembatan dari Takengon ke Blangkejeren zaman itu, sama sekali memang belum ada. Karenanya, dalam memoar Ir Sutami disebutnya sebagai lintasan yang paling mengerikan di dunia. Itulah kawasan Aceh Tengah, Gayo Lues nan sejuk permai di negeri Antara.

Ekspedisi itu, ibarat membuka lembar sejarah. Lintasan yang berjarak kurang lebih 140 km itu adalah sisa jalan pasukan kuda militer Belanda pimpinan J.B. Van Heutsz dan Van Daalen. Jalan kuda itu dibangun sekitar tahun 1893 dan telah menelan ribuan nyawa manusia. Di sanalah belantara hutan yang lebat. Bukit-bukit batu mengitari pergunungan. Lalu lihat,jurang-jurang terjal dan nun jauh di bawah sana terhampar lembah hijau dan sungai Lawe Alas.

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search