Minggu, 09 April 2017

Kisah Persaudaraan yang Tak Terpengaruh Gejolak RI-Timor Leste

Atambua - Pengembalian pusaka Kerajaan Paslara dan Daulelo dari wilayah hidup di Indonesia ke Timor Leste menyiratkan nilai persaudaraan yang kental. Dinamika politik kenegaraan tak membuat ikatan persaudaraan mereka rusak.

Kerajaan mereka dibentuk oleh leluhur. Mereka sudah bersaudara sejak lama, bahkan sejak sebelum Republik Indonesia dan Republik Demokratik Timor Leste terbentuk.

Namun kini wilayah mereka terbelah menjadi berada di dua negara. Pada 1999, saat gejolak referendum menyeruak, mereka bermufakat untuk mengungsikan sementara pusaka-pusaka yang dipunyai ke teritori Indonesia. Namun gejolak itu tak mampu merusak kekerabatan.

"Peristiwa politik tidak berpengaruh terhadap hubungan kami," kata Doru Vicente (41), di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Terpadu Motaain, Belu, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (4/4/2017).

Kisah Persaudaraan yang Tak Terpengaruh Gejolak RI-Timor LesteAnggota suku dari Kerajaan Paslara dan Daulelo dari kedua negara saling berpelukan (Danu Damarjati/detikcom)

Dia adalah penanggung jawab kegiatan pengembalian benda pusaka yang baru saja digelar di Jembatan Air Mata, kawasan batas teritorial kedua negara. Doru adalah anggota suku Daulelo. Dia mengatakan kedua belah warga yang terpisah teritori negara masih saling mengunjungi.

"Kami masih saling mengunjungi satu sama lain," tutur Doru.

Suku dari Paslara dan Daulelo berada di Desa Aidabaleten dan Desa Rairobo, Arabae, Maliana, Timor Leste. Sebagian berada di Desa Kenebibi, Atapupu, Belu, Nusa Tenggara Timur, Indonesia.

Tak ada perdebatan soal kewarganegaraan atau pekik nasionalisme yang membikin panas, meski siang itu cukup terik. Saat upacara pengembalian benda pusaka, Bendera Merah Putih dihormati semua anggota suku kerajaan. Saat Merah Putih berganti Bendera Timor Leste, penghormatan yang sama juga diberikan.

(Baca juga: Kembalinya Pusaka dari RI ke Timor Leste Lewat Jembatan Air Mata)

Bila mereka saling mengunjungi, perbandingan soal kehidupan di kedua negara memang menjadi pembicaraan. Namun perbandingan ini bukan dimaksudkan untuk mengolok-olok, namun diarahkan untuk saling membantu antarkeduanya.

"Kewarganegaraan tidak menjadi masalah. Tapi kita saling tukar pikiran, soal kondisi kehidupan di sana (Timor Leste) dan di sini (Indonesia). Di sana kemarin-kemarin kan agak sulit, tapi sekarang sudah membaik, sehingga sekarang mereka sudah bisa menjaga kembali pusaka itu," tutur Doru.

Pusaka yang dikembalikan itu terdiri dari sebilah pedang, tiga tiang bendera, dua genderang senar, dan dua terompet. Tiang bendera itu sudah ada sejak era kolonial, namun pada saat Timor Timur masih bergabung dengan Indonesia, Presiden Soeharto memberikan penghargaan kepada Kerajaan Paslara dan Daulelo. Penghargaan itu antara lain berbentuk mata tiang bendera yang berukirkan lambang Garuda Pancasila.

Kisah Persaudaraan yang Tak Terpengaruh Gejolak RI-Timor LesteFoto: Danu Damarjati/detikcom

"Itu penghargaan pemerintah Soeharto sebelum jajak pendapat. Diberikan ke Kerajaan. Dulu, satu kecamatan dipilih satu kerajaan dan mata tombak ditancapkan," tutur Doru.

Secara umum, sebenarnya bukan hanya Paslara dan Daulelo saja yang begitu, tapi masyarakat yang lain juga tetap menjaga persaudaraan lintas batas negara. PLBN Motaain menjadi saksi.

Bahkan di sini ada Jembatan Air Mata yang menjadi saksi betapa kuatnya hubungan emosional kekerabatan masyarakat perbatasan, yang tak rela dipisahkan oleh dinamika politik. Dulu, Jembatan Air Mata ini menjadi tempat kangen-kangenan dua pihak kerabat yang terpisah batas teritorial negara.

Kisah Persaudaraan yang Tak Terpengaruh Gejolak RI-Timor LesteFoto: Danu Damarjati/detikcom

Ikuti serial tulisan mengenai perbatasan Indonesia di Tapal Batas.
(dnu/fjp)

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search