Jombang (beritajatim.com) - Suara mesin penggilingan padi (huller) menderu di pinggir jalan Desa Mojokambang, Kecamatan Bandar Kedungmulyo, Jombang. Beberapa karung berisi beras teronggok tidak jauh dari mesin yang tiap hari keliling kampung tersebut.
Satu persatu isi karung dimasukkan ke dalam mesin penggilingan. Seiring dengan itu, asap tebal keluar mesin selep. Putih bergulung-gulung. Beberpa karung yang berada di dekat mesin tersebut ternyata bukan padi atau gabah. Bukan padi yang diselep (digiling) untuk dijadikan beras.
Namun yang digiling adalah beras dari Bulog. Beras itu digiling ulang agar warnanya lebih putih serta menghilangkan bau apek. Konsekuensinya, berat bersih beras tersebut akan berkurang. Dari satu karung berisi 15 kilogram, menjadi 13 kilogram.
"Sudah menjadi langganan. Setiap musim penerimaan beras dari pemerintah, warga selalu menggiling ulang. Beras tersebut dipoles dengan mesin selep agar lebih putih dan tidak berbau apek," kata pemilik mesin giling yang setiap hari keliling kampung.
Beras yang dimaksud oleh tukang penggilingan padi itu adalah rastra (beras sejahtera) atau yang lebih akrab disebut raskin (beras untuk warga miskin). Memang setelah keluar dari mesin poles, beras tersebut lebih 'cantik' dari sebelumnya. Lebih menawan untuk dimasak.
Selanjutnya, oleh tukang huller, beras tersebut diantar ke rumah Fatonah (57), warga setempat. Keluarga kurang mampu ini langsung tersenyum senang ketika beras miliknya berubah wajah. "Kalau tidak digiling ulang, beras ini tidak enak dimasak," ujar Fatonah, Minggu (11/6/2017).
Fatonah mengatakan, memoles ulang rastra sudah menjadi pekerjaan rutin warga usai menerima beras jatah dari pemerintah. Hal itu terpaksa dilakukan karena beras tersebut saat diterimakan kondisinya cukup memprihatinkan. Warnanya kuning kecoklatan, baunya apek, kondisi butiran beras banyak yang patah, bahkan remuk.
Bukan hanya itu, beras yang dulunya disebut raskin tersebut terkadang berkutu dan terdapat butiran kerikil. "Mungkin karena kami membelinya di balai desa dengan harga murah, sehingga beras yang kami terima kondisinya seperti itu," ujarnya sembari memamerkan beras yang dimaksud.
Baik Fatonah maupun warga lain memiliki kiat khusus setelah menerima beras tersebut. Langkah pertama yang dilakukan adalah menggiling ulang beras tersebut. Setelah proses itu, beras kemudian dibawa ke dapur untuk dimasak.
Hanya saja dalam memasak, warga tetap menyiasatinya, yakni mencampur rastra dengan beras kualitas bagus. Perbandingannya, beras bagus 70 persen, sedangkan rastra 30 persen. Kalau hanya rastra tanpa campuran, warga tidak tega untuk menyantapnya.
"Kalau rastra tanpa campuran, nasi tersebut rasanya tidak enak. Tidak ada gurihnya. Rasanya tawar. Makanya, kami harus mencampurnya terlebih dulu sebelum diolah menjadi nasi. Dari dulu beras yang kami terima ya seperti itu. Kuning, apek, dan remuk. Kadang ada kutu dan pecahan kerikil," katanya menegaskan.
Fatonah masih ingat, pernah suatu ketika dirinya menerima rastra yang gagal diselamatkan. Dengan kata lain, beras tersebut sudah tidak bisa dipoles ulang karena sudah remuk dan berbau apek. Jika sudah begitu, yang paling beruntung adalah ayam piarannya.
Beras yang babak belur itu pun berganti menjadi rasyam atau beras untuk jatah ayam. "Kalau sudah tidak bisa dipoles, saya buat untuk makanan ayam," kata Fatonah yang mengaku menerima rastra pada Rabu (7/6/2017).
Ironisnya, meski sudah bertahun-tahun menerima beras tak layak komsumsi, warga hanya bisa pasrah. Mereka lebih memilih mengadukan permasalahan itu kepada mesin penggilingan padi atau huller. Bagi mereka, itu lebih konkret, yakni bisa mempercantik wajah rastra yang tak layak konsumsi. Ketimbang mengadukan ke pihak berwenang. [suf]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar