Rabu, 21 Juni 2017

Kisah Pilu Para Pencari Suaka di Jabodetabek

JAKARTA, KOMPAS.com - Ibarat tamu yang mesti mematuhi peraturan yang dibuat si empunya rumah, si tamu tak bisa menolak aturan tersebut meski tak menguntungkannya.

Mungkin itulah yang tengah dirasakan para pencari suaka di Indonesia. Sebagai pengungsi yang tengah mencari perlindungan di negara asing, berbagai macam aturan dan pembatasan harus mereka terima.

Selasa (20/6/2017) kemarin, Kompas.com berkesempatan bertemu langsung dengan para pencari suaka yang tinggal di wilayah Jabodetabek. Abdullah, pencari suaka asal Afganistan menceritakan kesulitannya hidup sebagai pengungsi.

"Saya tinggal di Cisarua, Bogor. Saya datang dari Afganistan, karena kondisi perang saya sempat pindah ke Iran, sampai akhirnya saya harus mengungsi ke Indonesia karena kondisi di Iran pun tak aman untuk saya," kata Abdullah saat ditemui di Sawah Besar, Jakarta Pusat.

Abdullah berkisah, dua tahun lalu ia berangkat ke Indonesia bersama para pengungsi lainnya dengan berbekal uang seadanya. Dengan saling bantu membantu dalam pembiayaan, Abdullah beserta pengungsi lain tiba di wilayah Cisarua, Bogor dan menyewa sebuah rumah.

"Tidak ada yang bantu kami cari rumah saat itu, apalagi kami tidak bisa berbahasa Indonesia, sampai saat ini juga kami hanya bisa bicara dengan bahasa Inggris. Kami merasa asing dan takut," kata dia.

Kesulitan hidup Abdullah semakin berat ketika tahu bahwa di negara persinggahan ia tak diperbolehkan bekerja dan bersekolah.

"Lama-lama uang saya habis dan tidak ada yang bisa saya usahakan. Saya juga sedih melihat anak-anak pengungsi yang tidak bisa sekolah," kata dia.

Akhirnya Abdullah memutuskan untuk bergabung dalam komunitas bentukan para pencari suaka di Jabodetabek yang bernama 'Humans of Refuge'.

"Saya menjadi pengajar bahasa Inggris untuk anak-anak. Saya juga memotret mereka dan menulis kisah hidup mereka untuk mencari donasi," kata dia.

Kisah lain datang dari seorang perempuan bernama Iman, pencari suaka dari Afganistan yang tinggal satu daerah dengan Abdullah, yaitu Cisarua, Bogor.

"Saya dan suami tidak bisa bekerja di sini. Padahal kami punya tiga anak," kata dia ketika ditemui di tempat yang sama.

Iman mengatakan sangat mengkhawatirkan masa depan anak-anaknya yang tak mendapatkan pendidikan semestinya.

"Saya rasa mereka (anak-anak) sudah tidak punya masa depan. Di komunitas belajar di Cisarua mereka hanya diajarkan Bahasa Inggris saja, tidak ada yang lain," kata dia.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, Iman mengaku masih mengandalkan kiriman uang dari kerabatnya di Irak.

"Kami ambil uang yang dikirim dari Irak. Tapi tidak banyak, hanya Rp 1.000.000 saja untuk setiap bulan," kata dia.

Meski demikian, dalam penantiannya mendapatkan negara ketiga (suaka) yang memungkinkan mereka beroleh hak sebagai warga, Iman mengaku senang berada di Indonesia.

"Orang Indonesia sangat menyenangkan, saya suka di sini," kata dia.

Lihat juga: Komunitas Pencari Suaka Peringati Hari Pengungsi Sedunia

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search