Rabu, 21 Juni 2017

Kisah Sebuah Kampung di Mataram yang Warganya Kaya dari Hasil Mengemis

Mataram – Sebagai kota urban, Mataram sedang berkembang disatu sisi. Tapi ada sisi lain ibu kota Provinsi NTB ini yang mengundang rasa miris. Tentang sebuah kampung yang disebut-sebut sebagai kampung pengemis. Mayoritas warganya menjadikan mengemis sebagai profesi, tak mengenal hari bahkan momen-momen Ramadan seperti ini jadi kesempatan mengais rupiah berbekal belas kasih.

Kampung tersebut, berada di Lingkungan Cemara, Kelurahan Monjok Barat, Kecamatan Selaparang. Berada ditengah kota, kampung ini luasnya sekitar 8 hingga 9 hektare dengan populasi jumlah penduduk berkisar 200 jiwa.

Baca Juga :

Sekilas lingkungan yang kerap disebut oleh masyarakat dengan nama "Selile" ini tak seperti perkataan banyak orang. Bangunan-bangunan rumah nampak berdiri kokoh dengan tembok berhadapan, aktivitas dikampung itupun tergolong normal seperti pada umumnya.

Seorang ibu terlihat asyik duduk di depan teras dengan menggenakan selendang merah yang membalut buah hatinya yang perempuan. Jalanan sempit selebar dua jengkal dijadikan lokasi beberapa bocah tak beralas kaki nampak riang bermain. Tidak jauh dari lokasi itu, ibu ibu terlihat bercengkrama, entah apa yang dibicarakan. Namun dari ekspresinya mereka semua terlihat santai, nyaman, berkumpul satu sama lain di sebuah rumah yang ukurannya bukan lagi sederhana.

"Di sana disebut Selile, ini sudah dari dulu memang warga-warga di sana mengemis seakan jadi pekerjaan mereka. Jumlahnya banyak, karena setiap tahun mereka punya anak, cucu, dan lain sebagainya," ujar Sekertaris Lurah Monjok Barat, Suprianto kepada kicknews, Selasa (20/6).

Pertengahan tahun 2007 lalu, jelas Suprianto, kebanyakan warga di Lingkungan Cemara memang bukan asli warga Mataram. Sebab Dinas Sosial Kota Mataram kala itu menjadikan tempat ini sebagai lokasi rehabilitasi bagi pengemis-pengemis yang terjaring dan tidak memiliki tempat tinggal. Mereka dibina, diberi santunan, beranak-pinak, hingga menyewa sebuah rumah dan lahan untuk dijadikan tempat tinggal.

Namun nyatanya, meskipun anak-anak mereka sekolah hingga menimba ilmu di bangku universitas tetapi karakter orang tua mereka kembali lagi. Jiwa dengan kebiasaan yang dulunya sempat hilang, kini berangsur kembali. Mengemis mendapatkan uang secara praktis, sampai hari ini dijadikan solusi untuk menghidupi keluarga. Bahkan anak-anak mereka juga ikut ambil bagia mewarisi pekerjaan orang tuanya.

"Pendapatan mereka ini sangat besar, kaya semua dan ASN saja sampai kalah lho. Per hari bisa sampai jutaan rupiah. Maka dari itu mereka ini enggan meninggalkan pekerjaanya meskipun kami (pemerintah) sudah melarang dan member imbauan," jelas Suprianto.

Pernah suatu ketika, pada tahun 2011 lalu pihak Kelurahan menawarkan kepada sejumlah pengemis itu untuk berhenti mengemis dan ditawarkan usaha supaya mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan tidak menuntut belas kasihan. Namun penawaran ini justru mendapat respon yang tidak etis. Mereka berjanji berhenti mengemis asalkan pemerintah menjamin memberikan uang sebulan sekitar Rp 2 juta hingga Rp 4 juta rupiah pada satu KK, sesuai penghasilan mereka.

Sangat kontras menurutnya, ketika Lingkungan Monjok Barat mendapatkan beberapa penghargaan dari Pemkot, Pemprov, bahkan Mendagri. Karena Kelurahan itu berprestasi dan dapat bersaing dengan Kelurahan lain dengan beberapa program seperti pembersihan sampah maupun CCTV. "Tetapi di Kampung Selile malah seperti itu," keluhnya.

"Kami pun di sini tidak mau jika orang-orang menyebut jika Kelurahan Monjok Barat itu ada Kampung pengemis. Itu tidak benar, rasanya malu tetapi bagaimana lagi sudah dasar karakter," imbuhnya.

Lantas kemudian di mana pemerintah Kota Mataram dalam menanggulangi persoalan ini?. Dinas Sosial Kota Mataram bukan tanpa upaya, semua yang mereka bisa merubah mindset telah dijalankan. Sosialisasi, pembinaan, diberi santunan dan bantuan ekonomi seakan jadi kebiasaan.

"Di Cemara kita sudah lakukan banyak upaya, bantuan dan pembinaan sering kali diberikan. Tetapi ini sporadis, jumlahnya tidak dapat ditekan karena setiap tahun, pemain lama, baru, hingga eksploitasi anak selalu didapati," tutur Kasi Rehabilitasi Pelayanan Sosial Anak dan Usia Lanjut, Dinas Sosial Kota Mataram, Leni Oktavia.

Menurut Leni, ketika para pengemis, anjal, gepeng ini tertangkap dan diberi rehabilitasi, penandatanganan surat agar dikemudian hari tidak lagi melakukan kegiatan serupa pun juga telah dilayangkan. Kendati demikian, surat tersebut justru seakan menjadi "bungkus kacang" bagi mereka.

"Padahal mereka itu mampu, tetapi memang maunya mengemis. Kami juga sudah berikan teguran surat, namun malah jadi bungkus kacang," sesalnya.

Kampung pengemis menjadi fenomena yang amat miris ditengah-tengah pembangunan Kota Mataram yang kian meningkat pesat. Sejatinya, mereka tidak ingin melakukan pekerjaan ini, namun apadaya karakter yang dibalut dengan minimnya pilihan membuat para pengemis dikampung pengemis itu tak dapat berbuat banyak untuk merubah masa depannya sendiri.

Jurnalis : Riko Angger Wardhana

Tanggapan Pembaca

Tanggapan

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search