Selasa, 01 Agustus 2017

Kisah Pangeran Diponegoro Memendam Impian Haji sampai Mati

VIVA.co.id - Ibadah haji, bagi orang Indonesia, bukan hanya rukun Islam kelima. Lebih dari itu, haji merupakan sebuah ritus yang dipersyaratkan kepada mereka yang 'mampu' sehingga menuntut pengerahan total kekuatan fisik, mental, dan spiritual.

Jarak tujuh ribu sembilan ratusan kilometer dari Nusantara ke Arab Saudi ditambah ongkos yang tak murah saja sudah cukup menggambarkan betapa ibadah penyempurna itu tak mudah dijalani. Tentu sekarang sudah ada pesawat udara yang meringkas waktu perjalanan. Tetapi calon haji harus mengantre belasan-puluhan tahun untuk diberangkatkan ke Tanah Suci karena keterbatasan kuota jemaah.

Di masa lampau, sebelum ada pesawat udara, sarana transportasi untuk pergi haji hanya dengan kapal laut--bisa sampai sebulan lamanya dengan kapal modern. Di waktu yang lebih lampau lagi, pergi ke Tanah Suci dengan kapal butuh waktu paling sebentar enam bulan--itu pun kalau selamat dari perompak dan badai serta ombak ganas.

Karena itulah mereka yang telah sampai Tanah Suci, apalagi kembali dengan selamat ke Tanah Air, seolah menjadi muslim yang paripurna. Menyandang gelar haji sekaligus meningkatkan status sosial, bahkan memperkokoh legitimasi politik kuasa.

Orang pertama berhaji

Sejarah haji di Indonesia dimulai seiring islamisasi Nusantara pada abad ketujuh masehi. Namun orang pertama Nusantara yang berhaji tak diketahui pasti.

Catatan orang Nusantara yang pergi haji baru diketahui sejak abad XV (tahun 1482 M), yakni ketika Hang Tuah, laksamana Kesultanan Malaka, mampir ke Jeddah dalam perjalanan militer dengan 42 kapal yang mengangkut 1.600 prajurit untuk membeli meriam ke Istanbul.

Ditulis Henri Chambert-Loir dalam Naik Haji di Masa Silam, sebenarnya tidak terang apakah Hang Tuah atau ada orang lain yang berhaji dan mencatat lalu memasukkannya ke Hikayat Hang Tuah.  Namun teks itu menunjukkan bahwa sudah ada orang Nusantara yang berhaji pada tahun 1482.

Catatan berikutnya ialah tentang Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, anak saudagar di Pasai yang awalnya pergi ke Mekkah untuk belajar Islam kemudian beribadah haji di sana. Teks lain yang ditulis Henri menceritakan orang-orang berpunya di Nusantara, sebagian sultan/raja atau kalangan elite kerajaan, yang pergi haji, di antaranya Syekh Yusuf al-Makasari pada 1650, Jamaluddin Ibn al-Jawi pada awal abad ke-18, Raja Ahmad dari Riau pada 1828, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi pada 1854, dan Sultan Abdul Kahar dari Pontianak pada 1880.

Dikisahkan dalam naskah lain, Sultan Ageng Tirtayasa, sultan keenam Kesultanan Banten, mengutus putranya, Abu Nashar Abdulqahar, menemui Sultan Mekkah sambil beribadah haji lalu melanjutkan perjalanan ke Turki pada 1671. Abdulqahar kembali ke Banten dan kemudian lebih dikenal sebagai Sultan Haji.

Para sultan Kesultanan Mataram, kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara, tak ada yang berhaji [konon untuk menjaga netralitas dan rivalitas mistis-sufi Islam dengan mistis Hindu-Buddha sehingga raja Yogyakarta pantang ke Mekkah dan India]. Begitu pula semua keturunannya sebagai raja Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Hanya Sultan Agung, sultan ketiga Mataram, yang mengklaim sudah berhaji meski hanya rohnya yang ke Mekkah.

Diponegoro

Pangeran Diponegoro, putra sulung dari selir Sultan Hamengkubuwono III, mencoba mematahkan mitos itu. Sang pangeran yang bernama asli Bendara Pangeran Harya Dipanegara menyatakan impiannya pergi haji, bahkan ingin wafat di Tanah Suci.

Ditulis Peter Carey, sejarahwan asal Inggris penulis biografi Pangeran Diponegoro, Takdir; Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855), keinginan sang pangeran pergi ke Tanah Suci muncul pada penghujung Perang Jawa, yaitu tahun 1829.

Niat berhaji sang Pangeran, menurut Carey, dilatarbelakangi sedikitnya dua hal: pertama, pendidikan Islam ala pesantren dari nenek buyut putrinya, Ratu Ageng (permaisuri Sultan Hamengkubuwono I) di Tegalrejo; dan kedua, penampakan gaib berbusana haji (ihram) saat menjalani olah batin dan menyepi di Gua Selarong pada 19 Mei 1024.

Faktor terakhir itu, Carey berpendapat, paling memengaruhi sepak terjang Diponegoro di kemudian hari. Pangeran mendeskripsikan penampakan gaib itu sebagai panggilan suci menjadi Ratu Adil. Di antara unsur-unsur bernapaskan Islam terselip seruan Ratu Adil untuk mengangkat senjata.

"Akhirnya," tulis Carey dalam Takdir, "perintah yang diberikan Ratu Adil dikatakan sebagai memiliki dasar pembenaran dari Alquran, sehingga menegaskan misi Diponegoro sebagai seorang untuk menjunjung tinggi kemuliaan agama Islam di Jawa dan menjalankan kewajibannya sebagai ratu peneteg panatagama (seorang raja yang akan berdiri sebagai penata agama)."

Pengasingan

Perang Jawa yang dipimpin Diponegoro selama 1825-1830 disebut sebagai perang paling merusak bagi pemerintah kolonial Belanda. Belanda telah kehilangan 8.000 serdadu Eropa dan 7.000 serdadu bantuan lokal--prajurit Jawa dan Nusantara. Perang juga menguras habis anggaran hingga nyaris membangkrutkan Pemerintah Kolonial.

Namun Diponegoro kalah, ditangkap lalu diasingkan ke Manado dan Minahasa pada 1830-1833 kemudian dipindahkan ke Makassar pada 20 Juni 1833 sampai 22 tahun kemudian.

Diponegoro awalnya tak tahu hendak dikirim dan diasingkan ke mana setelah menyerah kepada Belanda. Dalam perjalanan di atas kapal dari Semarang ke Jakarta, Diponegoro menuntut kepastian hendak dikirim ke Mekkah atau tempat lain.

Setelah tahu akan dikirim ke Manado, pemimpin Perang Jawa yang disebut sebagai perang sabil atau perang suci itu menyatakan niatnya untuk meminta uang dan kapal kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johannes van den Bosch di Batavia untuk pergi haji ke Tanah Suci.

Diponegoro tak pernah menerima uang khusus untuk pergi haji, apalagi kapal. Dia kemudian menabung dengan menyisihkan sebagian besar uang tunjangannya yang direncanakan untuk ongkos pergi haji, saat diasingkan di Manado maupun setelah dipindah ke Makassar. 

Pada Agustus 1830, Residen di Manado, DFW Pietermaat, terkejut setelah menemukan pundi-pundi uang milik Diponegoro yang tersimpan dalam bentuk uang dan perhiasan. Pangeran telah menabung uang hingga 1.762,50 gulden.

Pietermaat menjadi waswas dan mencurigai Diponegoro sedang mengumpulkan "uang tabungan untuk perang baru". Khawatir tabungan Diponegoro kian besar dan sekiranya cukup untuk membiayai perang baru, Pietermaat kemudian memangkas uang tunjangan sang Pangeran; awalnya 600 gulden per bulan, menjadi 300 gulden per bulan, kemudian hanya menjadi 200 gulden per bulan.

Carey menilai, pemangkasan uang tunjangan itu memang keterlaluan drastis. Hidup di pengasingan membutuhkan sekurang-kurangnya 200 gulden untuk membayar pembantu dan membeli makanan, sementara Pangeran tak sendiri melainkan bersama keluarganya. Pangeran menjadi sangat-sangat hemat dan hidup melarat.

Sekalipun tunjangan itu secara bertahap naik terus hingga mencapai 500 gulden pada 1850, tetap saja tak cukup, mengingat jumlah keluarganya juga semakin besar. Hal itu mengakibatkan kondisi kesejahteraan Pangeran selama masa pengasingan di dalam Benteng Fort Rotterdam di Makassar terus turun hingga di ambang kemiskinan pada saat kematiannya.

Pangeran sempat menyampaikan keinginannya kepada Gubernur Jenderal untuk membangun sebuah rumah lengkap dengan masjidnya di luar Benteng Fort Rotterdam. Namun permintaan itu ditolak pada Mei 1849. Alasannya, Pangeran dikhawatirkan melarikan diri mengingat Makassar kala itu sudah menjadi pelabuhan bebas.

Selain kondisi keuangan sang Pangeran, yang menjadi topik hangat dalam surat menyurat pejabat Belanda pada awal 1850-an, tak ada hal lain yang menyebut-nyebut perihal bekas pemimpin Perang Jawa itu dalam catatan arsip kolonial.

Lalu sampailah pada Senin pagi, 8 Januari 1855, para petugas Belanda di Benteng Rotterdam dibangunkan dini dari tidur mereka oleh berita duka: Pangeran telah wafat persis setelah matahari terbit pukul 06.30 WIT. Waktu itu hampir bersamaan dengan 70 tahun silam ketika lengkingan tangis bayi Pangeran kali pertama hadir di dunia sebelum waktu sahur tiba di Keputren Keraton Yogyakarta.

Pangeran tak pernah menginjakkan kaki di Tanah Suci. (mus)

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search