Jumat, 04 Agustus 2017

#KlipingPR Kisah Tiga Wanita Pelopor Tenun Majalaya

4 Agustus 1975. Majalaya, Kabupaten Bandung dikenal sebagai kawasan industri tekstil sejak 1930-an. Bukan tanpa alasan Majalaya berkembang menjadi kawasan tersebut. Ternyata, catatan sejarah geliat industri tekstil di Majalaya dimulai oleh tiga wanita asal Majalaya, yang kala itu berani mendobrak tembok pendidikan dan memulai perubahan.

Cerita tiga wanita pelopor tenun Majalaya dikisahkan dalam sebuah artikel yang dimuat di Pikiran Rakyat pada 4 Agutus 1975, ditulis oleh Atang Ruswita. Berikut kisahnya: 

Pada bulan September 1928, adalah empat gadis yang pulang ke kampung halamannya di Majalaya setelah mengikuti kursus menenun di Kota Bandung. Kursus diselenggarakan Ny. Wiranatakusumah, isteri Bupati Bandung kala itu, di sebuah bangunan yang sekarang dikenal sebagai asrama Puteri Parki/Pasundan yang memang bergandengan dengan pendopo kabupaten. 

Selama satu bulan mengikuti kursus disana, mereka tidak hanya belajar menenun. Melainkan juga memasak hingga menjahit. Perserta kusus merupakan gadis-gadis yang berasal dari semua kecamatan di Kabupaten Bandung. Empat gadis asal Majalaya lebih tertarik untuk mendalami kursus menenun, karena untuk menjahit dan memasak sudah mereka kuasai.

Sebenarnya, menenun juga bukan hal baru bagi mereka. Keempat gadis asal Majalaya itu memiliki keahlian menenu, namun dengan alat yang sangat sederhana yakni 'kentreag'. Sedangkan kursus menenun yang diajarkan Ny. Wiratakusumah menggunakan alat yang lebih modern di masa itu, yakni ATBM. Sayangnya, saat itu hanya terdapat satu alat tenun, yang harus digunakan secara bergantian oleh peserta kursus yang sangat banyak.

Mereka kemudian dianjurkan untuk meneruskan kursus menenun di TIB, yang sekarang menjadi Institut Teknologi Tekstil (ITT). September 1928, mereka merampungkan kursus menenun di TIB.

Keempat gadis asal Majalaya ini adalah Mariyam (Iyam), Suhaenda (Edah), Rohayah (Oya), dan Leih. Selesai kursus, Iyam dan Edah masing-masing dibelikan alat tenun atau menurut istilah orang Majalaya disebut 'tustel' seperti yang mereka gunakan pada kursus, oleh orang tua mereka masing-masing. 

Adapun Oya awalnya dibuatkan alat tenun oleh orang tuanya. Namun karena tustel buatan sendiri tidak tahan lama, akhirnya Oya pun mendapatkan alat tenun baru. Sementara itu Leih tidak sempat memanfaatkan hasil kursusnya karena meninggal dunia.

Alat tenun tustel milik Iyam dan Edah kemudian ditempatkan di rumah milik Argadinata, karena memiliki lantai tembok.

Tiga sekawan ini kemudian melanjutkan kemampuan menenun mereka lebih dari sekedar hobi untuk mengisi waktu, melainkan sebagai mata pencaharian. Dalam sehari, masing-masing mampu menyelesaikan sehelai sarung. Jauh berbeda ketika mereka masih menenun menggunakan kentreng yang harus menghabiskan waktu satu minggu untuk menghasilkan sehelai sarung.

Kala itu, yang dilakukan Iyam, Edah, dan Oya mampu memikat decak kagum masyarakat. Hampir setiap hari banyak orang yang sengaja datang untuk melihat mereka menenun.

Bergabungnya Ondjo

Melihat geliat menenun, putera Argadinata yaitu Ondjo menjadi tertarik untuk juga mengikuti kursus menenun. Ondjo kemudian menyatakan keinginannya untuk sekolah di TIB, yang kemudian tidak disetujui sang ayah Argadinata. Sang Ayah menilai, menenun adalah pekerjaan untuk perempuan.

Namun Ondjo berpendapat lain, ia melihat menenun dengan menggunakan alat yang digunakan Iyam, Edah, dan Oya justru lebih maksimal jika dilakukan oleh laki-laki. Singkat cerita, Ondjo akhirnya bersekolah di TIB. Selain menenun, ia bahkan belajar mencelup. Ondjo menyelesaikan kursus dalam tiga bulan.

Setelah itu ia membeli tustel, dan Ondjo kemudian bergabung bersama Iyam, Edah, dan Oya untuk mengembangkan usaha menenun. Ondjo dan Iyam diketahui memadu kasih, hingga kemudian menikah di usia yang masih sangat belia yakni 17 tahun.

Uang hasil penjualan sarung yang mereka tenun, perlahan-lahan dikumpulkan untuk kemudian dibelikan alat tenun tustel lainnya satu demi satu. Mereka kemudian mendorong saudara-saudara mereka untuk ikut belajar menenun.

Lama kelamaan, banyak warga lainnya yang tertarik dan ikut belajar hingga akhirnya banyak warga di Majalaya yang melakukan pekerjaan menenun. Pada 1934, menenun mulai meluas ke daerah-daerah sekitar Majalaya yakni Ciparay, Cicalengka, Rancaekek, dan Banjaran.

Masuknya nonpribumi

Dengan bantuan Bupati Bandung kala itu, Wiranata Kusumah, Majalaya akhirnya mendapatkan aliran listrik pada tahun 1935. Sehingga pada 1936 mulai dikembangkan penggunaan alat-alat tenun yang lebih modern yang pengunaannya membutuhkan tenaga listrik.

Memasuki tahun 1937, orang-orang nonpribumi asal Tiongkok mulai masuk ke Majalaya dan mengusahakan pabrik tenun di daerah tersebut. Karena memiliki modal yang kuat, pengusaha tersebut mampu membeli 100 tustel untuk pabrik tenunnya.

"Padahal waktu itu tustel saya saja baru sekitar 30 buah," ujarnya dalam wawancara dengan "PR".

Untuk menghadapi modal raksasa pengusaha nonpribumi tersebut, para pengrajin tenun pribumi kemudian membentuk koperasi. Ketua koperasi yang dipilih saat itu adalah Idjradinata. Adapun Ondjo menjadi bendaharanya. 

Melalui koperasi tersebut, pemerintah memberikan bantuan kredit bagi para pengrajin tenun pribumi masing-masing 25 Gulden.

Tenun di masa revolusi

Ketika Jepang masuk, di Majalaya sudah ada sekitar 240 alat tenun mesin, dan 10.000 ATBM. Pemerintah setempat kemudian mewajibkan para pengrajin menggunakan ATBM untuk membuat karung goni. Sementara alat tenun mesin diistirahatkan karena tidak ada bahan baku.

Kemudian di masa revolusi, pemerintah mencoba menyelamatkan alat-alat tenun di Majalaya dengan mengangkutnya ke Priangan Timur. Ratusan alat tenun diangkut, namun akhirnya hancur. Alat tenun yang tersisa di Majalaya diangkut warga pribumi ke Bandung. "Jadi baru sejak zaman revolusi itulah di Kota Bandung ada pabrik-pabrik tenun," ungkap Ondjo.

Dengan berpura-pura simpati kepada Negara Pasundan, serta melaporkan seolah-olah alat-alat tenun mereka masih ada dan masih berjalan, Ondjo dan kawan-kawan memperoleh jatah benang tenun dari Negara Pasundan. Benang itu kemudian dijual Ondjo kepada pabrik tenun di Bandung. Uang yang didapatkannya dibagikan kepada pengusaha-pengusaha tenun pribumi di Majalaya untuk dibelikan alat tenun baru, dan memperbaiki alat tenun lama yang sudah rusak. 

Dari sana, usaha tenun di Majalaya kembali menggeliat. Hasil penjualan produksi mereka, sebagian disumbangkan pada pasukan yang tengah bergerilya.

Setelah pemulihan kedaulatan, berkembang pesatlah industri tenun di Majalaya. Sampai akhirnya menjadi pusat industri sandang di Indonesia yang memenuhi sebagian besar kebutuhan masyarakat.

Saat diwawancara "PR" pada 1975, Ondjo Argadinata mengatakan terdapat 5.000 ATBM, dan 3.000 alat tenun mesin di Majalaya. Namun yang dikuasai pribumi hanya 40 persen saja. 60 persen sisanya dikuasai pengusaha nonpribumi. Adapun buruh yang bekerja di industri tenun majalaya saat itu mencapai 30.000 orang.

Di antara pabrik-pabrik tenun tersebut, terdapat tiga pabrik milik tiga wanita pelopor pertenunan Majalaya. Yakni pabrik tenun Pusaka milik Iyam atau Mariam Ondjo Argadinata, pabrik tenun Rosida (milik Suhaenda atau Enda), dan pabrik tenun Tawekal (milik Rohayah atau Oya).

Jika ketiga wanita tersebut di tahun 1928 tidak memiliki keberanian menghadapi kecaman ataupun ejekan masyarakat yang belum bisa menerima kebiasaan anak-anak gadis pergi sekolah, barangkali Majalaya tidak akan berkembang menjadi pusat industri sandang yang mampu memenuhi sebagian besar kebutuhan sandang di tanah air. ***

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search