Berbondong-bondong melintasi hutan, sawah, rawa dan pegunungan terjal, ratusan ribu orang menyeberangi perbatasan Myanmar-Bangladesh untuk menyelamatkan diri dari serbuan tentara.
Di antara para pengungsi Rohingya itu, seorang ayah terpaksa berhadapan dengan pilihan sukar: nyawa anak atau keselamatan seluruh anggota keluarganya.
"Saya melarikan diri dari rumah bersama seluruh keluarga saya tapi anak saya tertembak saat melarikan diri," ujar pria berusia 49 tahun yang tak disebutkan namanya itu.
Kisah itu ia sampaikan kepada Medecins Sans Frontieres (MSF) atau Dokter Lintas Batas. Organisasi kemanusiaan medis itu menyebut sudah ada setidaknya 146 ribu orang yang telah menyeberang ke Bangladesh.
Mereka menghindari kekerasan yang telah menewaskan setidaknya 400 orang sepanjang pekan ini. Bentrokan baru pecah setelah kelompok bersenjata melancarkan serangan terhadap sejumlah kantor polisi dan sebuah pangkalan militer, pekan lalu.
Angka tersebut lebih banyak dari arus pengungsi sebelumnya, pada Oktober 2016, yang mencapai 75 ribu orang. Saat itu, warga etnis minoritas Muslim di Myanmar tersebut sama-sama dihadapkan pada persekusi militer.
Sang ayah dari salah satu keluarga pengungsi itu melanjutkan kisahnya. "Saya membawanya ke rumah sakit di Bangladesh, tapi meninggalkan anggota keluarga lainnya di hutan di Myanmar."Seluruh anggota keluarganya yang ditinggalkan di hutan tidak mempunyai tempat berteduh dan hanya bisa bersembunyi di balik jajaran pepohonan dan semak belukar.
"Saya belum mendengar lagi kabar dari mereka selama berhari-hari."
"Saya tidak tahu harus berbuat apa. Saya merasa sangat putus asa."
Menurut MSF, para pengungsi saat ini sangat membutuhkan bantuan medis dan kemanusiaan "karena situasi kemanusiaan yang sudah mengerikan di sepanjang perbatasan dengan Myanmar kian memburuk."
Mayoritas pengungsi baru saat ini tinggal di permukiman darurat atau kamp yang terdaftar di badan pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNHCR, di tiga kamp baru, atau di antara masyarakat setempat.
Banyak juga para pengungsi yang terdampar di tanah tak bertuan yang memisahkan Myanmar dan Bangladesh.
"Kami belum pernah menghadapi sesautu dalam skala ini di sini selama bertahun-tahun," kata Pavlo Kolovos, kepala misi MSF di Bangladesh, dalam pernyataan pers yang diterima CNNIndonesia.com.
"Tim kami melihat arus orang yang datang dari kemiskinan dan sangat trauma, dan yang tidak memiliki akses terhadap perawatan medis."Banyak pendatang memiliki kebutuhan medis yang sangat serius, seperti cedera terkait kekerasan, luka parah terinfeksi dan komplikasi obstetrik lanjut."
MSF menyatakan telah mengerahkan lebih banyak perawat, bidan dan dokter untuk membantu merespons keadaan ini. Selain itu, bangsal rawat inap kedua pun didirikan di salah satu dari dua klinik yang ada di daerah Kutupalong.
"Kami khawatir bahwa ratusan ribu orang yang masih berada di Myanmar tidak memiliki akses terhadap perawatan kesehatan dan bahwa tidak ada pihak yang saat ini mampu atau diizinkan untuk merespons di lapangan," kata Kolovos.
Keadaan para pengungsi Rohingya di kamp Bangladesh sangat mengkhawatirkan. (AFP Photo/KM Asad) |
"Saya diberi tujuh kemasan kecil biskuit untuk memberi makan anak-anak saya saat tiba. Itu saja yang mereka makan," kata seorang ayah empat anak yang baru tiba di Bangladesh tiga hari lalu.
Saat ini mereka tinggal di sebuah sekolah, tapi komite sekolah tidak mengizinkan mereka untuk berada di sana lebih lama.
"Komite sekolah mengatakan bahwa kami harus meninggalkan tempat ini. Saya tidak tahu ke mana kami akan pergi."
(aal)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar