TEMPO.CO, SHAMLAPUR—Kisah horor dan kengerian diceritakan sejumlah pengungsi Rohingya yang tiba dengan perahu di kawasan pantai Shamlapur, Bangladesh.
Seperti dilansir BBC, Jumat 8 September 2017, dengan menangis, para pengungsi ini menceritakan kekejaman tentara militer Myanmar dan kelompok nasionalis Buddha di negara bagian Rakhine.
Beberapa orang, termasuk pria, mulai terisak tak terkendali. Tubuh mereka terengah-engah. Mereka seolah tak percaya masih hidup. Beberapa dari mereka disodori telepon genggam oleh penduduk setempat sehingga cerita mereka bisa terekam.
Baca: Bisnis Migas di Myanmar Jadi Salah Satu Pemicu Konflik Rohingya?
Dil Bahar, wanita berusia 60-an tahun, menangis sesenggukan. Suaminya, Zakir Mamun, pria lemah dengan jenggot tipis, berdiri di belakangnya.
Seorang anak laki-laki remaja sedang bersama mereka, lengannya terbungkus kain yang dililit tali. Lengan yang terbungkus kain itu merupakan akibat dari tembakan peluru tentara Myanmar.
Wajahnya berkerut kesakitan. "Dia cucuku, Mahbub," kata Dil Bahar. "Dia ditembak di lengan."
"Ini pembantaian," ujar Zakir Mamun. Desa mereka berada di Buthidaung, sekitar 50 kilometer dari perbatasan Bangladesh.
Serangan militer Myanmar, menurut mereka, terjadi tanpa peringatan apapun.
"Mereka datang untuk membunuh kami," kata Zakir. "Orang-orang diperintahkan masuk ke dalam rumah melalui pengeras suara, oleh militer. Kemudian militer dan massa melemparkan bom ke rumah kami, membakar mereka hidup-hidup."
Ketika penduduk desa yang selamat mencoba pergi, para penyerang melepaskan tembakan. "Orang-orang jatuh terjerembab, saat mereka terkena," kata Zakir. "Kami berlari ke gunung dan bersembunyi."
Zakir Mamun mengatakan tentara Myanmar menyerang desa mereka. Anaknya, ayah Mahbub, terbunuh. "Sepanjang malam kami bisa mendengar penembakan tersebut, 'roket' meledak," kata Zakir.
Baca: Bahas Nasib Rohingya, Menteri Retno ke Myanmar
Keesokan paginya, mereka melihat desa mereka berubah jadi reruntuhan bangunan. Asap membumbung dari rumah-rumah yang membara. "Semuanya hilang," katanya.
Zakir, istri dan cucunya mengumpulkan beberapa peralatan yang tidak rusak serta beberapa makanan mentah. Mereka berjalan kaki selama 12 hari, melintasi dua gunung dan kemudian melewati hutan.
"Nasi kami habis pada hari kedelapan," kata Zakir. "Kami tidak makan apa-apa, kami bertahan dengan tanaman dan air hujan."
Sementara seorang wanita paruh baya, yang berpakaian hitam, sedang mengamati cakrawala dengan cemas, melindungi matanya. Wanita bernama Rohima Khatun itu sedang menunggu saudaranya.
Karena terburu-buru melarikan diri, mereka terpisah. Rohima berhasil menyeberang ke Bangladesh melalui jalur laut. Dia berharap saudaranya, Nabi Hasan, termasuk di antara ratusan orang yang datang melalui laut.
Saat kapal keempat mencapai pantai, dia menjerit dan mulai berlari. Seorang pemuda datang dengan terpincang-pincang di seberang pantai dan keduanya saling berpelukan.
Nabi Hasan dan Rohima Khatun nyaris tak percaya bahwa mereka masih hidup dan dipertemukan lagi.
"Dia ya Allah, dia Allah," gumam Rohima Khatun. "Saya tidak berpikir bahwa saya akan melihat kamu," balas Nabi Hasan sambil menyeka air mata saudara perempuannya.
"Desa kami diserang oleh militer," tutur mereka. "Bersama dengan Mogs," lanjut mereka merujuk pada komunitas nasionalis Buddha yang tinggal di Rakhine.
"Kami adalah yang berhasil selamat dari 10 anggota keluarga."
Baca: Rohingya Angkat Senjata, Ribuan Warga Lari dan Dievakuasi
Kekerasan terbaru di Rakhine dimulai pada 25 Agustus 2017 setelah kelompok gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) menyerang pos-pos polisi yang menewaskan sekitar 12 petugas.
Militer Myanmar kemudian meluncurkan operasi brutal dan mengaku telah membunuh sekitar 370 yang mereka klaim anggota gerilyawan Rohingya.
Namun, laporan kredibel dari para aktivis menyebut sekitar 135 termasuk wanita dan anak-anak Rohingya di satu desa di Rakhine dibantai.
Kelompok pengungsi Rohingya yang selamat itu kini dipindahkan ke sebuah kamp pengungsi yang luas di Balukhali. Mahbub telah dibawa ke klinik yang dikelola oleh International Organization of Migration. "Saya senang berada di Bangladesh," kata Zakir. "Ini negara Muslim, kami selamat di sini."
BBC | SITA PLANASARI AQUADINI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar