Selasa, 12 September 2017

Kisah Klasik Duit dan Rumah Sakit

Metrotvnews.com, Jakarta: Orang miskin dilarang sakit. Pemeo masyhur ini, seakan menjelma sindiran abadi.

Lagi-lagi, kabar pilu mengalun dari peliknya urusan duit di rumah sakit. Kepergian Tiara Debora, bayi malang berusia empat bulan itu cukup mengundang empati publik.

Buah hati kesayangan Rudianto Simanjorang dan Henny Silalahi itu, mulanya mengalami sesak napas. Pada 3 September 2017, dia pun dilarikan ke Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres, Jakarta Barat.

Kedatangan Debora langsung diarahkan ke instalasi gawat darurat (IGD). Dari hasil pemeriksaan, bocah mungil itu diberi saran agar segera mendapatkan perawatan khusus di fasilitas Pediatric Intensive Care Unit (PICU).

Bukan sembarang fasilitas, perawatan melalui PICU lazim memerlukan ongkos yang mahal. Keluarga Debora, diharuskan membayar uang muka setidaknya Rp19,8 juta.

Usai menyadari cuma sanggup terkumpul Rp5 juta, keluarga meminta ke pihak rumah sakit agar penanganan Debora lebih didahulukan. Soal utang, pikirnya, bisa diusahakan kemudian.

Namun Harapan Rudianto dan Henny itu, pupus. Pihak rumah sakit merasa sudah memberikan tindakan sesuai kemampuan dan hanya bisa mengusahakan rujukan. Nahasnya, belum sempat bergeser, Debora keburu dijemput maut.

Baca: RS tak Boleh Meminta Uang Muka dalam Keadaan Darurat

Fungsi sosial

Keluarga Debora, bukan satu-satunya yang pernah menerima getir dari dugaan adanya keteledoran dalam pelayanan rumah sakit.

Mengutip data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dari 22.957 pengaduan sepanjang 2011 hingga 2016, sejumlah 526 di antaranya berupa kasus anak korban pelayanan kesehatan.

Proses administratif dan mendesaknya tindakan pertolongan yang berbarengan, melulu menjadi penyebab. Tak heran, jika banyak yang bilang, rumah sakit telah lupa akan misis sosial yang seharusnya selalu diemban.

Baca: Djarot: Rumah Sakit Swasta harus Ingat Misi Sosial

Menengok apa yang menimpa Debora, misalnya, sudah amat jelas bertentangan dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Utamanya, menunda tindakan sebelum dipenuhinya biaya fasilitas dan pelayanan.

Pasal 32 ayat 1 UU itu berbunyi; "Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu."

Belum lagi, jika melihat UU No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Pada Pasal 29 ayat 1e dinyatakan, setiap rumah sakit mempunyai kewajiban menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu dan miskin.

Disambung Pasal 32 huruf c, "Setiap pasien mempunyai hak memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur dan tanpa diskriminasi."

Sementara dalam 5 poin keterangan resminya, pihak RS Mitra Keluarga hanya melaporkan tindakan-tindakan yang sudah dilakukan, serta saran pembiayaan dengan mengalihkan ke rumah sakit lain yang bermitra dengan asuransi BPJS.

Direktur Rumah Sakit Mitra Keluarga Fransisca Dewi menyebutnya dengan istilah, "Seandainya dia dibantu BPJS, biaya di rumah sakit rujukan pasti akan lebih ringan."

Dan memang terang, tak ada lagi, selain persoalan duit. Sementara misi sosial yang semestinya mengiringi kerja-kerja pelayanan kesehatan, nihil.

Anggaran dan kesadaran

Kebijakan pemerintah berupa BPJS Kesehatan, tampaknya tak menyudahi perilaku diskriminasi masyarakat dalam pelayanan kesehatan. Banyak kasus menunjukkan, rumah sakit masih memiliki kesan tebang pilih dalam memberikan tindakan.

Baca: [Telusur] Sebabak Kenangan Buruk Pengguna BPJS

Tidak sedikitnya rumah sakit swasta yang belum atau tidak bekerja sama dalam proyek kesehatan negara ini, juga patut dievaluasi. Anggaran kesehatan yang cuma 5% dari APBN itulah yang dibilang jadi biang kekhawatiran.

Bayangkan saja, defisit BPJS selalu muncul di setiap tahun. Dan hal itu, yang tampaknya dijadikan dalih bagi rumah sakit sekelas Mitra Keluarga enggan menjalin kerja sama.

Rumah sakit takut, beban iuran BPJS tak bisa menutupi kebutuhan pelayanan kesehatan semestinya.

Baru-baru ini saja BPJS melaporkan, setidaknya ada 10 juta orang yang menunggak iuran. Sejak BPJS Kesehatan dibentuk, tunggakannya sudah mencapai Rp3,4 triliun.

Pada 2016 lalu, BPJS Kesehatan harus menanggung defisit Rp1,5 triliun. Pasalnya, klaim yang mesti dibayar mencapai Rp69 triliun. Padahal iuran yang diperoleh, cuma Rp67,5 triliun.

Alhasil, pelayanan kesehatan yang buruk disulut banyak sebab. Pemerintah, sudah waktunya melakukan evaluasi secara maksimal.

Baca: [Telusur] Paradoks Kesehatan Kuba

Meski begitu, komersialisasi pelayanan kesehatan tentu bukan lantas dicap halal. Persoalan Debora, jelas sebuah keteledoran.

Terlebih bagi pihak rumah sakit, dalam UU yang mengaturnya sangat jelas tertulis, "rumah sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial."

Amat mulia. Di dalamnya, tak ada soal uang -yang pada praktiknya; justru didewa-dewakan.

(SBH)

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search