Tiga bersaudara, Gareng, Petruk, dan Bawor kelimpungan. Mendadak, tanaman di lahan mereka layu dan membusuk. Hewan ternak dan ikan-ikan mati tanpa penyebab pasti. Alam, secara misterius, tiba-tiba tak bersahabat.
Belakangan mereka tahu, sumber air untuk menyiram dan memberi minum ternak mereka telah tercemar. Namun, mereka tetap saja tak paham, kenapa air yang biasanya jernih itu menjadi keruh. Mereka marah, bingung, dan kalut. Mereka ingin tahu penyebabnya.
Sayangnya, mata air itu berada jauh di ketinggian puncak yang tak terjangkau kemampuan. Mereka pun lantas mengadu kepada ayah mereka yang bijaksana, Semar. Namun, rupanya, Semar alias Semarmaya yang dikenal dengan kebajikan dan petuahnya, tak memiliki jawaban atas pertanyaan itu.
Hampir putus asa, mereka pun memaksa agar Semar, dengan kesaktiannya, mengajak mereka terbang menemui Bathara Dewa di Kayangan. Tak seperti yang dibayangkan, Bathara Guru yang diharapkan bisa menjawab teka-teki itu hanya diam membisu. Bathara hanya meminta agar mereka kembali ke Mayapada dan sabar serta memperbaiki perilaku hidupnya kala berhubungan dengan alam.
Atas petunjuk Semar, empat tokoh pewayangan yang lebih dikenal dengan punakawan itu pun menggelar prosesi "Caos Atur Ganda Arum". Prosesi itu ialah tanda bakti kepada alam dengan persembahan yang disertai dengan bunga tujuh rupa dan lambang-lambang kesejahteraan kehidupan. Upacara ini menggambarkan bahwa manusia mesti bersahabat sekaligus merawat alam.
"Belum. Bathara belum bisa menjawab. Ini masih di awang-awang. Adalah pertanda bahwa kerusakan itu disebabkan oleh manusia itu sendiri," kata sutradara aksi teatrikal bertajuk "Wuru Banyu Butek", Titut Edi Purwanto, ditemui usai pementasan di Curug Cipendok Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Sabtu, 7 Oktober 2017.
Dia mengatakan, aksi teatrikal berjudul "Wuru Banyu Butek" dan ritual budaya itu dilakukan untuk memprotes, sekaligus memperingatkan bahwa alam di lereng Gunung Slamet telah terganggu. Mereka memprotes dampak keruhnya Sungai Prukut dan aliran sungai lain di lereng selatan Gunung Slamet sejak eksplorasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Baturraden dimulai.
Titut menerangkan, pergelaran teatrikal itu menggambarkan bahwa masyarakat kebingungan menghadapi alam yang tiba-tiba berubah. Selama ratusan, bahkan ribuan tahun, masyarakat tak pernah mendapati sungai-sungai yang mengalir dari Gunung Slamet keruh. Sungai yang bermata air dari Gunung Slamet selalu bening dan menjadi sumber penghidupan.
"Kalau dalam kehidupan nyata, banyak masyarakat yang tidak tahu apa penyebab sungai menjadi keruh," ujarnya.
Adapun simbol Bathara Guru yang tak menjawab penyebab keruhnya air Curug Cipendok yang ditanyakan oleh punakawan, Titut berujar, bahwa itu melambangkan sikap pemerintah yang tak jelas dalam krisis berkepanjangan yang menimpa ribuan warga di Cilongok dan sekitarnya. Bahkan, ia sendiri mengaku tak pernah mendapati, pemerintah secara serius menjelaskan dampak-dampak poyek PLTP kepada alam dan masyarakat di daerah penyangga Gunung Slamet.
"Belum. Saya belum melihat. Nyatanya banyak yang tidak tahu," jelas dia.
Titut mengungkapkan, keruhnya aliran Cipendok atau Prukut itu menyebabkan banyak masyarakat terimbas. Ribuan orang di sejumlah desa mengalami krisis air bersih, budi daya perikanan terganggu, peternakan dan industri kecil terpaksa mencari sumber air bersih lainnya. Bahkan, sektor pariwisata yang menjadi urat nadi kehidupan warga Kawasan Cipendok pun nyaris berhenti total.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar