Kisah-kisah tentang monster, zombie dan ratu siluman, identik dengan hantu-hantu yang kadang menyerupai sosok manusia normal. Ada juga tentang hantu penghuni laut yang kadang digambarkan serupa wanita cantik nan jelita. Konon mereka itu adalah raja Iblis yang ditugaskan untuk menggoda manusia agar lalai dan terlena menjadi pengikutnya. Di antara hantu atau arwah gentayang itu, orang Indonesia memberinya nama-nama yang beragam, misalnya Nyi Roro Kidul, Kuntilanak, Nyi Blorong, Sundel Bolong dan seterusnya.
Hantu yang menyerupai wanita cantik, konon harum baunya semerbak mewangi. Namun, ketika didekati terlihat berdiri mengawang, telapak kakinya tidak menapak ke bumi, dan baunya tiba-tiba menyengat amis dan busuk menjijikkan. Orang-orang tua mestinya menceritakan kisah semacam itu sambil memetik hikmahnya, bukan sekadar menakut-nakuti anak, tapi mengambil berbagai metafor agar hidup manusia senantiasa di jalan Tuhan dan kebenaran. Inilah yang dimaksud kearifan lokal, bahwa kisah-kisah yang menarik perhatian masyarakat selayaknya dimasukkan pesan-pesan moral yang patut dicontoh, diteladani atau dihindari.
Lantas, pesan moral apa yang terkandung dalam kisah-kisah mitos seperti ratu siluman tersebut? Penyamaran yang dilakukan sang ratu siluman penuh tipu-muslihat untuk mengelabui makhluk manusia agar terjerat dalam jebakan dan godaannya. Awalnya kelihatan manis diselimuti kemasan indah, tapi lama kelamaan tersibaklah segala rahasia kepalsuan dan kebohongannya.
Konon tidak ada ratu siluman yang berwajah angker dan menyeramkan. Semuanya berparas cantik, mempesona dipandang mata, karena memang itulah senjata ampuhnya untuk menjalankan misi kebohongan yang dia jalankan. Kalau bukan karena kepintarannya dalam mengelabui manusia – seperti halnya kaum politikus – bisa jadi ia tak bisa bertahan dalam hitungan tahun. Paling-paling hanya dalam hitungan hari, minggu atau bulan, segala rahasia itu akan tersingkap dengan jelasnya.
Kisah tentang kebohongan dan aksi tipu-muslihat tergambar jelas pada surah Yusuf dalam Alquran, ketika saudara-saudara Yusuf saling mendengki hingga berencana menyingkirkan Yusuf dari keluarga mereka. Yusuf diajak bermain ke tengah hutan, kemudian mereka memasukkannya ke dalam sumur dengan lebih dulu melepas bajunya untuk dilumuri darah. Mereka menyatakan kepada ayahanda Yaqub, bahwa Yusuf telah diterkam serigala dengan membuktikan bajunya yang berlumuran darah.
Aksi kebohongan saudara-saudara Yusuf terbilang canggih, berdasarkan rencana dan agenda yang cukup matang. Meskipun tebersit berbagai teka-teki yang menimbulkan tanda-tanya besar. Mengapa baju Yusuf masih utuh meskipun terdapat bercak-bercak darah? Apakah sang serigala menyuruh Yusuf agar melepas bajunya, untuk kemudian menerkamnya dalam keadaan tak berpakaian?
Bebagai kejanggalan itu menjadi petunjuk bagi para penyelidik dan investigator dalam mengembangkan suatu kasus, sampai kemudian terbukti bahwa saudara-saudara Yusuf telah melakukan aksi penipuan dan kebohongan. Pada perjalanan selanjutnya, ketika Yusuf dinobatkan sebagai Raja Mesir, saudara-saudara yang memasukkannya ke dalam sumur itu pun bertekuk-lutut di hadapannya, dan memohon ampun kepadanya.
Sekilas mengungkap teori kebohongan, bahwa untuk menutupi satu kebohongan biasanya sang penipu membungkusnya dengan kebohongan-kebohongan baru. Lambat laun, kebohongan itu semakin menumpuk terakumulasi. Hingga sang pelaku seakan-akan menganggap sebagai kewajaran semata. Jika kebohongan itu menyangkut makan uang rakyat yang berskala milyaran, tentu saja Tuhan takkan membiarkannya berlenggang-kangkung seakan tak merasa berdosa.
Karena memang, setiap dosa yang dipraktikkan manusia akan tergantung pada dampak yang ditimbulkannya. Jika korupsinya sedemikian akut dan berlarut-larut, tentu saja daya ledaknya cukup besar. Kecuali jika daya rusaknya ringan bersifat lokal, masih mungkin dibenahi dan direhabilitasi, lantaran biaya moralnya cukup mudah dan ringan.
Bicara soal akumulasi kebohongan ini, saya pernah mendapat ilustrasi dari mantan menteri pendidikan dan kebudayaan kita, Mohammad Nuh. Pada suatu ketika ada anak yang absen beberapa hari tak masuk kelas, kemudian ditanya oleh Bu Guru Tuti: "Fulan, ke mana saja kamu tidak masuk kelas?" Si Fulan menjawab, "Sakit, Bu." Bu Guru Tuti bertanya lagi, "Sakit apa?" Jawab Fulan lagi, "Sakit demam, Bu." Ditanya lagi oleh Bu Guru, "Sejak kapan kamu terserang demam?" Jawab Fulan lagi, "Sejak tiga hari lalu, Bu."
"Fulan, sudah ke dokter belum?" Dijawab oleh Fulan, "Sudah, Bu." Bu Guru Tuti terus bertanya, "Dokter mana?" Dijawab lagi, "Dokter X." Kata Bu Guru lagi, "Ooh, Dokter X yang di jalan Z itu ya?" Fulan agak gelagapan, kemudian dia menjawab, "Ya benar, Bu." Tapi Bu Guru tidak tinggal diam, "Sudah diberi resep?" Jawab Fulan lagi, "Sudah, Bu." Lalu tanya Guru lagi, "Resepnya ditebus di apotik mana?"
Seandainya pada titik ini si Fulan berkata jujur, maka dia akan menjawab, "Belum ditebus, Bu." Guru Tuti melanjutkan pertanyaan, "Mengapa?" Fulan akan menjawab, "Karena saya tidak dapat resep." Kata Bu Guru lagi, "Kenapa tidak dapat resep?" Jawab Fulan, "Karena saya tidak ke dokter." Lalu, "Kenapa tidak ke dokter?" Pada titik ini nampak jelas akumulasi kebohongan itu, hingga si Fulan menjawab, "Karena saya tidak sakit, Bu."
Untuk mempertahankan agar akumulasi kebohongan itu tidak terbongkar, biasanya para penguasa dan politisi pintar membungkusnya dengan beragam kemasan indah, pencitraan, eufemisme, diksi dan bahasa yang penuh retorika, hingga sulit dimengerti oleh kebanyakan orang. Seorang terpelajar dan akademisi yang membangun kebohongan, akan pintar memanipulasi intelektual, merasionalisasi hal-hal yang sebenarnya hanya polesan pembenaran semata.
Namun percayalah, setiap kebohongan besar yang merugikan dan menyengsarakan rakyat banyak, pasti akan menyisakan kejanggalan-kejanggalan yang menimbulkan tanda-tanya besar. Dari kejanggalan itulah maka pembuktian danlogika balik dari kebohongan akan mudah dipatahkan dengan sendirinya. Dalam hal ini Presiden Jokowi mewanti-wanti kepada para birokrat dan pejabat tinggi Indonesia, "Berhati-hatilah, jangan coba-coba bermain-main dengan uang rakyat."
Bukankah sikap jujur itu membawa kita pada ketenangan dan kedamaian. Bahkan seorang awam pun akan mudah menebak gestur-gestur kebohongan dan kepura-puraan, yang membuat pelakunya terperangkap dalam keresahan dan kegelisahan selalu. (*)
Penulis Muhamad Pauji
Pegiat organisasi sosial Gema Nusa Banten.
Redaktur: Arif Soleh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar