Rabu, 11 Oktober 2017

Mengingat Kembali Kisah Udin, Wartawan yang Dibunuh karena Pemberitaan

JAKARTA - Kasus kekerasan terhadap jurnalis kembali terjadi. Kali ini, kekerasan menimpa Jurnalis Metro TV, Darbe Tyas yang menjadi korban kekerasan polisi dan Satpol PP saat meliput unjuk rasa penolakan pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Gunung Slamet di depan Kantor Bupati Banyumas, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu.

Berdasarkan data Aliansi Jurnalis Independen (AJI), angka kekerasan terhadap wartawan di Indonesia cukup tinggi. Kekerasan terhadap wartawan mencapai 72 kasus dalam setahun terakhir. Bandingkan dengan 2014 yang hanya ada 42 kasus, lalu 2015 naik jadi 44 kasus dan puncaknya pada 2016 ada 78 kasus.

BERITA TERKAIT +

Kisah Darbe meningatkan kita pada sosok Fuad Muhammad Syafruddin, yang akrab dengan nama wartawan Udin, yang pernah mengalami kekerasan hingga berujung tewas. Pria kelahiran Bantul, Yogyakarta 18 Februari 1964 itu sejatinya adalah seorang Jurnalis Surat Kabar Harian (SKH) Bernas terbit di Yogyakarta.

Saat itu Udin berumur 32 tahun. Ia dianiaya oleh orang tidak dikenal (OTK) hingga meninggal dunia. Sebelum kejadian, Udin kerap menulis artikel kritis tentang kebijakan pemerintah Orde Baru dan militer. Ia menjadi wartawan di Bernas sejak 1986.

Selasa malam, pukul 23.30 WIB, 13 Agustus 1996, ia dianiaya pria tak dikenal di depan rumah kontrakannya, di dusun Gelangan Samalo, Jalan Parangtritis Km 13 Yogyakarta. Udin yang koma karena penganiayaan tersebut dirawat di RS Bethesda, Yogyakarta.

Esok paginya, Udin menjalani operasi otak di rumah sakit tersebut. Namun, dikarenakan parahnya luka yang diderita akibat pukulan batang besi di bagian kepala itu, akhirnya Udin meninggal dunia pada Jumat, 16 Agustus 1996, pukul 16.50 WIB.

Sejak Udin mengalami koma hingga rentang waktu yang cukup panjang, hampir seluruh media massa meliput peristiwa yang menimpa Udin.

Kasus Udin menjadi ramai ketika Kanit Reserse Umum Polres Bantul Edy Wuryanto, saat itu berpangkat Sersan Kepala (Serka), di Yogyakarta, dilaporkan telah 'membuang barang bukti', yakni sampel darah dan juga mengambil buku catatan Udin, dengan dalih melakukan penyelidikan dan penyidikan.

Edy Wuryanto kemudian hanya dimutasikan dari tempat dinasnya di Yogyakarta ke Mabes Polri di Jakarta.

Ada pihak-pihak tertentu yang tampaknya mencoba mengalihkan kasus ini. Seorang perempuan, Tri Sumaryani, mengaku ditawari sejumlah uang sebagai imbalan membuat pengakuan bahwa Udin melakukan hubungan gelap dengannya dan kemudian dibunuh oleh suaminya.

Dwi Sumaji alias Iwik, seorang sopir perusahaan iklan, juga mengaku dikorbankan oleh polisi untuk membuat pengakuan bahwa ia telah membunuh Udin. Iwik dipaksa meminum bir berbotol-botol dan kemudian ditawari uang, pekerjaan, dan seorang pelacur. Namun di pengadilan, pada 5 Agustus 1997 Iwik mengatakan, "Saya telah dikorbankan untuk bisnis politik dan melindungi mafia politik."

Sebelum meninggal, beberapa tulisan Udin nampak jelas mengkritisi kekuasaan Orde Baru dan militer. Tulisan yang cukup menyengat di antaranya "3 Kolonel Ramaikan Bursa Calon Bupati Bantul", "Soal Pencalonan Bupati Bantul: banyak 'Invisible Hand' Pengaruhi Pencalonan", "Di Desa Karangtengah Imogiri, Dana IDT Hanya Diberikan Separo" dan "Isak Tangis Warnai Pengosongan Parangtritis".

Atas kegigihannya menyuarakan kebenaran, Udin dianugerahi penghargaan Suardi Tasrif Award oleh Aliansi Jurnalistik Indonesia untuk perjuangannya bagi kebebasan pers, pada 22 Juni 1997.

Semenjak itu setiap tahun AJI mengaugerahkan Udin Award kepada jurnalis atau sekelompok jurnalis yang menjadi korban kekerasan karena komitmen dan konsistensinya dalam menegakan pers, demi kebenaran dan keadilan.⁠⁠⁠⁠

(ydp)

(amr)

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search