TRIBUNJATENG.COM, DEMAK - Ismail (bukan nama sebenarnya), salah seorang warga Desa Kedondong, Kecamatan Demak Kota, Kabupaten Demak, ingin segera kembali ke kampung halamannya di Kota Wali. Hingga saat ini, dia bersama 33 warga asal Demak lainnya, masih tertahan di Tembagapura, Mimika, Papua.
Cerita itu disampaikan Ismail, saat berbicara via telepon dengan Kepala Desa Kedondong, Sistianto, serta beberapa wartawan, beberapa waktu lalu. Dalam percakapan itu, Ismail menuturkan bahwa jumlah komplotan yang oleh aparat keamanan disebut Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) kurang lebih 100 orang. Mereka saat ini tidak berada di desa, tempat Ismail tingggal.
"Kami berada di sebuah desa, kami dalam kondisi tidak boleh keluar dari desa dan melakukan interaksi dengan dunia luar desa ini. Kami tidak diikat, hanya saja semua kegiatan kita hanya dilakukan di desa ini," kata Ismail.
Cerita Ismail itu memberikan kepastian bahwa ada puluhan warga Demak yang menjadi bagian dari korban penyanderaan di Papua. Mereka umumnya bekerja sebagai buruh tambang dan pedagang di dekat area pertambangan PT Freeport di Tembagapura..
==========================================
Seorang warga Demak yang menjadi korban penyanderaan di Mimika, Papua, menceritakan kondisi warga yang tersandera
Penyandera melarang warga korban penyanderaan keluar kampung
Penyandera juga menyita peralatan komunikasi warga
==========================================
Sebelumnya, Minggu (12/11) lalu, keluarga 34 warga Desa Kedondong mengadu kepada kepala desa mereka. Warga berharap, kepala desa menjembatani komunikasi dengan aparat kepolisian dan TNI untuk memperjuangkan keluarga mereka yang tersandera di Papua. Ke-34 warga Demak itu menjadi bagian dari 1.300-an warga Kampung Banti dan Kimbely, Tembagapura, Mimika, Papua, korban penyanderaan oleh KKB.
"Kami berada di sebuah desa di bawah (lembah--Red), sementara itu kami juga sesekali mendengar tembakan yang arah suaranya dari atas lembah. Bahkan mereka (penyandera--Red) juga terlihat membawa senjata tajam berupa parang dan juga senapan api," kata Ismail.
Bagaimana para warga korban penyanderaan memenuhi kebutuhannya? Ismail menceritakan, setiap hari mereka masih bisa makan. "Makan nasi saja kami. Sehari sekali," kata dia.
Dalam perbincangan singkat itu, Ismail menceritakan, para penyandera juga menyita segala perangkat komunikasi warga, termasuk handphone. "Namun ada (warga) yang bisa menyembunyikan alat komunikasi ini," katanya.
Sementara itu, Selasa (12/11) kemarin, Kepala Desa Kedondong, Sistianto mengatakan, sudah tidak ada komunikasi lagi dengan warganya yang menjadi korban penyanderaan. Komunikasi terakhir, kata dia, terjadi pada pekan lalu.
"Tidak ada kontak lagi saat ini, kami berharap mereka dalam keadaan baik-baik saja karena setiap harinya mereka di-sweeping (oleh penyandera). Mungkin alat komunikasi mereka sudah disita oleh sekelompok bersenjata itu," kata Sistianto.
Sementara itu, Bupati Demak, M Natsir, mengaku belum tahu mengenai 34 warganya yang menjadi korban penyanderaan di Papua.
"Kami memang belum mengetahui pasti, baik data dan faktanya, karena memang belum ada laporan ke pihak kami," ujar Natsir, Senin (13/11).
Namun dia menyatakan, tidak akan tinggal diam atas nasib warganya di tanah perantauan itu. "Pastinya kami segera mungkin akan laporkan ke Presiden, dan meminta beliau untuk membantu kami, untuk menyelamatkan warga kami, jika memang mereka menjadi korban penyanderaan kelompok bersenjata di Mimika, Papua, tepatnya di lahan dekat PT Freeport," katanya. (tribunjateng/cetak/hei)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar